I'm Being Raised by Villains [Bahasa Indonesia] - Chapter 87
[Unedited]
Credit: Gourmet Scans
TL by: CY
Posted by: Genoise
<Chapter 87>
Mereka adalah keluarga yang kudapatkan setelah aku datang ke dunia yang jauh ini, jadi aku tidak mau kehilangan mereka satu pun.
Aku teringat pada masa lalu begitu melihat Kruno Etam. Semua ini terjadi gara-gara aku.
“Memang begitu.”
“Omong kosong.”
Kruno Etam melepaskanku dan bangkit berdiri.
Dia mencoba melepaskanku, tapi…
“Kau tidak mau turun?”
“Iya.”
Aku menggelayut di lehernya dan bertahan dengan baik daripada yang kukira.
Dan Kruno Etam mempunyai tenaga yang lebih kuat dari yang kukira. Karena aku tidak turun juga, akhirnya dia mengangkat tangannya dan menopang bokongku.
“Maafkan saya, Pendeta Agung.”
“Tidak apa-apa. Rupanya kau punya keponakan yang lucu. Kau pasti bahagia.”
“…Bukan begitu.”
“Oh ya? Jangan lupa bahwa dosa selalu ada di sisimu. Kau hidup dengan berpijak pada orang lain.”
Pendeta agung tersenyum licik dan berkata.
“…Saya mengerti.”
“Karena tirakat hari ini tidak selesai dengan baik, mari kita lakukan dalam beberapa hari lagi.”
“Baik.”
Pendeta agung menatapku dan tersenyum.
“Apa keponakan Kardinal tidak tertarik untuk rutin mengunjungi biara? Kau tidak bisa mengubah kelahiranmu, tapi kau bisa membersihkan tubuh dan hatimu yang kotor.”
Adam maju selangkah karena ucapannya yang kurang ajar itu. Pendeta agung tersenyum santai sambil menatapku.
“Iya, aku tidak tertarik.”
“Kalau begitu, sebaiknya kau tidak dekat-dekat dengan Kardinal. Karena dia akan mengalami kesulitan jika berada di jalan yang salah.”
“Tidak mau.”
“…”
Tatapan pendeta agung sedikit kesal karena jawabanku seperti anak kecil.
“Kuharap keluarga Etam menaikkan standar pendidikannya.”
“Tidak usah.”
“Bahkan kau tidak tahu etika dasar…”
“Bukan begitu. Kau tidak bersikap sopan, jadi aku juga tidak sopan padamu.”
Aku menantangnya dengan santai.
Gelar duke setara atau lebih tinggi dari gelar pendeta agung, tapi tidak pernah lebih rendah. Meski demikian, pendeta agung jelas-jelas meremehkan aku.
Tentu saja dia bersikap seperti itu karena tidak tahu bahwa aku adalah kepala keluarga Etam.
“Rupanya makhluk jahat dan kotor sedang mencoba menyihir kita. Sadarlah Kardinal Kruno.”
“…Baik.”
Dia berusaha keras untuk melepaskanku. Tapi, aku tetap menggelayut seperti jangkrik yang menempel di pohon tua.
“…Lepaskan.”
“Tidak mau.”
“Kumohon…!”
Kruno Etam memegang aku dan mengerang. Aku tetap saja menggelayut dan tidak bisa melepaskannya.
“Paman, jangan sakit.”
“…”
“Saat kita menyalahkan sesuatu yang bukan salah kita, dunia menjadi sengsara. Bahkan bernapas pun membuat kita merasa berdosa… Sebenarnya tidak seperti itu, tapi sungguh seperti itu.”
Aku pernah merasa begitu.
Kelahiranku seperti dosa yang sangat besar.
Ada saatnya aku tidak bisa bertahan untuk mengulangi kata-kata itu meski aku tahu sebenarnya tidak seperti itu.
Tapi, Erno Etam– bukan, maksudku ayah– berkata bahwa ia mencintaiku meski aku bukan siapa-siapa. Dia pun bertanya, apa itu perlu alasannya?
Itulah yang kuharapkan dari orang tua kandungku, tapi aku tidak pernah mendengarnya sampai akhir.
“…Berisik. Cepat pulang.”
“Aku jamin, jika Paman memberitahu seluruh keluarga bahwa kau mengalami kesulitan, mereka pasti akan mendengarkanmu.”
Matanya sedikit menyipit. Aku tahu siapa yang ia pikirkan.
Oh iya, kecuali satu orang.
“Kecuali ayahku.”
Raut mukanya menjadi lega begitu aku menambahkan. Sepertinya aku tahu bagaimana ayah diperlakukan oleh keluarganya.
“Jadi, jangan sakiti dirimu sendiri.”
Aku menggelayut di lehernya, lalu menutup mata.
‘Kuharap tubuh Paman membaik.’
Ayo ucapkan permohonan. Kemudian, itu menjadi kenyataan seperti keajaiban bersama dengan lingkaran putih.
Berbagai luka di sekujur tubuhnya menghilang, bahkan bekas luka yang sudah lama pun tak tampak sama sekali.
Mata Kruno Etam membelalak. Dia melihatku dengan tatapan tidak percaya, lalu mengangkat kepalanya dan menatap pendeta agung.
“Karena Paman tidak suka, hari ini aku akan pergi. Tapi, besok aku akan kembali.”
“Kau…”
“Ah, aku juga akan mengobati jika Paman terluka lagi.”
Wajah Kruno Etam berkerut seolah sedang menghadapi anak nakal saat aku berkata demikian sambil tersenyum lebar.
“Paman Pendeta Agung.”
“…Kau bilang apa?”
“Jika kau memukul Paman lagi…”
Aku menyeringai.
Disebutkan dalam novel bahwa keluarga Etam menyumbang dana yang cukup besar ke biara karena Kruno Etam.
“Aku tidak akan memberikan donasi lagi.”
“Rupanya keponakan Kardinal adalah orang yang sombong! Jika kau kira keluarga Etam akan menghentikan donasi hanya karena satu anak, kau salah besar!”
“Aku akan melakukannya.”
Keluarga Etam bertanggung jawab atas setengah uang donasi biara.
Sebenarnya, kenapa keluarga Etam mendonasikan uang dalam jumlah besar ke biara yang tidak ada gunanya selain untuk popularitas?
Sekilas, alasannya sederhana.
Mirel Etam berdonasi untuk anaknya. Demi anak yang menginjak-injak dirinya sendiri sampai mati di kuil.
“Huh, sebenarnya siapa kamu…?”
“Aku? Aku putri ayah yang keren.”
Begitu aku menjawab sambil menyeringai, muka pendeta agung menjadi kaku.
Aku merasa puas dengan ekspresinya, lalu pulang bersama Adam dan Iona.
Dan sejak hari itu, kunjunganku ke biara yang mengerikan dimulai.
***
“Halo, Pendeta Agung!”
Menyebalkan, wajah pendeta agung itu berkerut saat aku masuk dan menyapanya dengan ceria.
“Oh? Sekarang wajahmu berkerut? Kau tidak senang menyambutku?”
“…Haha, aku? Begitukah? Selamat datang, Putri Etam.”
“Oke, apa kau sudah menyiapkan kue S’more dan coklat panas Farasan?”
Ugh, terdengar suara gertakan gigi.
Ketika aku membuka mata lebar-lebar dan menengadahkan kepala, pendeta agung duduk di hadapanku dengan senyuman, seolah-olah dia tidak pernah melakukan itu sebelumnya.
“Tentu saja.”
‘Munafik.’
Yah, itulah sebabnya orang yang gila uang itu menjadi pendeta besar.
Sekarang dia pasti sangat kekanak-kanakan. Karena keluarga Etam telah mengumumkan akan benar-benar menghentikan uang donasi.
Tepatnya, ayah telah mengiakan untuk menghentikan donasi setelah mendengar semua ceritaku.
Di novel <Diadopsi> pun pendeta agung tidak muncul sebagai sosok yang baik.
Dia adalah seorang manusia yang sejak awal sudah tergila-gila pada uang, dan entah bagaimana ia memiliki kekuatan ilahi yang kuat dan naik hingga jabatan pendeta agung.
Pendeta agung menyediakan biara sebagai tempat untuk menyerahkan anak-anak di luar nikah dan yang hidup menderita kepada para bangsawan.
Mereka dibesarkan menjadi pendeta. Dan pendeta agung menerima donasi sebagai balasannya.
Novel <Diadopsi> juga menampilkan bagaimana pendeta agung menganggap Kruno Etam setelah kematiannya.
Etam adalah sumber uang yang sangat besar baginya.
Pendeta agung menyadari alasan Duke Mirel memberikan sejumlah besar donasi untuk biara.
Duke Mirel mengkhawatirkan Kruno Etam yang meninggalkan rumah lebih awal.
Dia hanya menggerutu dan mengkhawatirkan anaknya dari belakang.
Pendeta agung saat ini memanfaatkan kecemasan Mirel Etam dan menjerumuskan Krino Etam lebih jauh ke dalam lubang biara.
Dia membangkitkan rasa bersalah, menyulut, dan memanipulasinya supaya tidak akan bisa meninggalkan biara.
Bahkan, saat Kruno Etam menemui ajal di tangan Roussillon, dia berkata demikian.
[Kruno Etam adalah investor besar, bagaimana dia bisa mati?! Dia adalah sumber uang terbesar! Aku harus menjaganya dengan cara apa pun…!]
Setelah kejadian itu, pendeta agung dibunuh oleh Roussillon. Tidak lama kemudian, bara api pemberontakan menyala di seluruh kerajaan.
“Apa rasanya cocok dengan lidahmu…?”
“Hm, tidak. Ini tidak enak. Terlalu manis.”
Aku berkata sambil membuang kue yang ia sediakan. Kue yang berharga itu terpental ke lantai.
“…”
“Kardinal Kruno terlalu taat dan ia mengatakan sendiri tidak akan meninggalkan biara. Sebagai pendeta agung, mana berani aku mengabaikan kesetiaannya yang mutlak pada Tuhan dan menyuruhnya untuk meninggalkan biara?”
Pendeta agung berkata dengan muka hampir menangis. Aku hanya tersenyum melihat dia mengatupkan kedua tangan dan berbicara dengan suara yang terdengar pura-pura.
“Iya, ucapanmu benar. Tentu saja seperti itu. Jadi, kurasa lebih baik Paman ada di sini.”
Lagi pula, cepat atau lambar Roussillon akan mengambil posisi pendeta agung dan semua akan baik-baik saja.
“Kalau begitu…!”
Wajahnya berbinar.
“Sebagai gantinya, aku mau minta yang lain.”
“Yang lain…?”
“Apa kau bersedia membebaskan para hewan antropomorfik yang ada di sini? Ah, juga kelurga mereka dan para elf meski jumlahnya tidak banyak.”
Aku menambahkan sambil mengingat cerita dalam novel <Diadopsi>.
Dia menambahkan beberapa alasan mengapa para hewan antropomorfik dan keluarga yang berhubungan dengan mereka perlu disucikan dan memeras tenaga mereka tanpa upah.
Para hewan antropomorfik dipaksa menjadi anggota kuil dan keluarga mereka disandera di kuil sehingga mereka tidak punya pilihan lain.
Pada akhirnya, pendeta agung mendapatkan beberapa tenaga kerja gratis dari seekor hewan antropomorfik.
“Apa…? Apa maksudmu….?”
“Yah, kau hanya perlu melakukan itu. Sebagai tambahan, ketahuilah bahwa kontraknya akan ditandatangani.”
Soal Kruno Etam, dia cukup ditenangkan sedikit demi sedikit. Tapi, para hewan antropomorfik tidak punya banyak waktu.
Pergi ke benua selatan merupakan hal yang paling membahagiakan untuk mereka.
Aku menceritakan hal itu kepada ayah kemarin.
[…Jadi, aku mau membebaskan para hewan antropomorfik dan mengirim mereka ke benua selatan, apa bisa begitu? Aku perlu uang atau… semacam donasi…]
[Putriku, kau mau melakukannya?]
[Iya.]
[Kalau begitu, lakukanlah.]
[Tapi…]
[Keluarga ini milikmu, kau punya kewenangan. Lakukanlah jika menurutmu itu tepat.]
Ayah menyuruhku untuk melakukan apa yang kumau.
Aku ingin melihat masa depan, di mana Kruno Etam tidak mati dan para hewan antropomorfik tidak menderita.
“Kalau kau tidak mau…”
Aku memicingkan mata perlahan.
“Ayah bilang, dia akan menghentikan 80% aliran dana ke biara…”
Aku berbohong.
<Bersambung>