I'm Being Raised by Villains [Bahasa Indonesia] - Chapter 71
[Unedited]
Credit: Gourmet Scans
TL by: CY
Posted by: Genoise
<Chapter 71>
Apakah di dunia ini ada kadal yang bisa terbang?
Tidak, bisa saja ada. Tapi, aku merasa aneh karena mengepakkan sayap dan terbang.
Aku berusaha menggerakkan sayap. Sungguh membuat suara kepak-kepak.
Setahuku, kadal terbang biasanya mempunyai sayap seperti tupai terbang di bawah kaki depannya, atau hanya semacam ular yang hanya menerbangkan tubuhnya.
Aku merasa aneh pada diriku sendiri, tapi Erno Etam secara alami memelukku dan menepuk-nepuk punggungku seperti sudah menduga semua sebelumnya.
‘…Tidak, pasti ada yang aneh.’
Ini tidak normal.
Eh? Ini aneh.
Aku mendongak dengan wajah bingung, tapi Erno Etam menunjukkan raut wajah puas dan ramah yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Melihatnya membuat hatiku meleleh dan tidak tahu harus bagaimana.
‘Baiklah, ini juga bukan hal yang buruk, kan?’
Aku menjadi kadal mutan langka yang bisa terbang karena mempunyai sayap.
“Aku menunggumu sadar.”
“Kus?”
“Bagaimana badanmu?”
Aku mengangguk dan menepuk-nepuk dadaku dengan kaki depan. Itu untuk menunjukkan bahwa aku baik-baik saja.
Dia memeriksaku dengan cermat di sana sini, lalu mengelus pipiku.
“Kau pasti lelah karena baru saja sadar, tapi apa kau bisa membantuku?”
Erno Etam menanyakan sesuatu padaku. Aku merasa sedikit gugup.
Omong-omong, apa ya?
Begitu aku mengangguk, senyum Erno Etam semakin dalam.
‘Dia… tidak marah, kan?’
Semakin marah, maka senyum orang ini akan semakin tebal. Jadi, aku benar-benar tidak tahu mana yang tulus.
Tetap saja, uluran tangannya begitu baik sehingga aku merasa tidak perlu bertanya langsung dengan mulutku.
“Ada banyak yang akan kuberikan padamu. Karena hadiahnya sudah tertunda selama 5 tahun.”
“…Kus?”
Aku sungguh tidak mengerti apa yang ia maksud dengan 5 tahun.
Erno Etam mengelus pipiku beberapa kali ketika aku memiringkan kepala.
“Ayrin, kamu sudah tidur selama 5 tahun untuk tumbuh.”
Apa?
Memangnya berapa tahun usia rata-rata kadal?
Saat aku menganga, dia tersenyum dan bangkit dari tempat duduknya.
Kemudian, dia meletakkan tumpukan dokumen di satu sisi meja dan menyerahkannya padaku satu per satu.
“Nah, pertama-tama maukah kau membubuhkan tanda tangan di sini?”
Bagaimana aku membubuhkan tanda tangan dengan tangan seperti ini? Tanganku tumpul, jadi tidak bisa menggenggam pena sama sekali. Sebenarnya ini bukan tangan, lebih mendekati kaki depan.
“Kau boleh cap kaki.”
Tanda tangan dengan cap kaki, itu lebih aneh.
Erno Etam mendaratkan kecupan singkat di dahiku.
Ketika aku melihatnya dengan tatapan ramah, Erno Etam membenamkan kaki depanku ke bantal stempel merah, lalu mengarahkannya ke atas kertas.
Sungguh seperti ini?!
Tap, tap, tap.
Erno Etam menggerakkan tangannya seperti mesin dengan kecepatan yang tak terlihat. Lalu, dia membereskan tumpukan dokumen yang tampak agak tebal dan telah dicap dengan kakiku yang bulat di suatu tempat.
“Putriku.”
Begitu aku menelengkan kepala, dia mengelap kakiku yang berlepotan cap dengan hati-hati, lalu menaikkanku ke atas meja.
“…Aku tentu menyayangi putriku, tak peduli bagaimana rupanya.”
Tangannya yang besar mendarat di atas kepalaku. Dia tersenyum hangat.
“Tapi, apa sekarang kau tidak mau berubah menjadi manusia? Aku ingin memelukmu setelah sekian lama.”
Aku memiringkan kepalaku yang kecil, lalu menatapnya.
Begitu aku berkedip sekali, dia berlutut dengan satu kaki dan menatap mataku.
“Putriku, bolehkah aku memintanya?”
Aku menatap matanya yang sedikit berbinar dalam waktu yang lama, lalu mengangguk perlahan.
Rasanya, aku harus mengatakan ‘bisa saja meski itu tidak mungkin.’
Entah mengapa, sepertinya aku bisa melakukannya.
‘Aku ingin menjadi manusia.’
Saat aku mengucapkan keinginan itu, pandanganku memutih.
Aku memejamkan mata lalu membukanya lagi, lalu tubuhku tiba-tiba membesar. Bahkan sebelum aku sempat membuka mata, selimut besar menutupi tubuhku.
“A… yah…?”
Rasanya seperti aku tidak berucap dalam waktu yang sangat lama. Sensasi saat bibirku terbuka dan suaraku keluar pun terasa masih asing bagiku.
“Iya, Ayrin.”
Dia menjawab sambil memeluk tubuhku yang terbungkus selimut.
“Aku merindukanmu.”
“Iya…”
Eh? Pengucapanku terasa baik-baik saja. Tapi, jangkauan penglihatanku masih saja rendah.
“Jantungku hampir copot karena kau tidak sadar-sadar. Aku hampir saja memenggal leher Kaisar.”
“…Apa?”
Dia memberontak. Pemberontakan.
Dia berkata bengis dengan enteng. Siapa lagi kalau bukan psikopat gila.
‘Tapi, tetap saja…’
Aku merasa nyaman berada di pelukannya.
Aku merentangkan tanganku yang pendek dan memeluk Erno Etam erat-erat. Entah kenapa, hatiku terasa tenang.
“Ayah…”
“Iya, Putriku.”
Aku memeluknya dengan wajah murah, dan akhirnya mengatakan apa yang membuatku penasaran dari tadi.
“…Ini benar-benar sudah lewat 5 tahun?”
Aku bertanya pada Erno Etam, pura-pura tidak tahu bahwa aku bisa berbicara dengan lancar tanpa ada pengucapan yang tidak jelas.
“Benar.”
“…Apa hanya lidahku yang tumbuh?”
Kenapa aksen bicaraku normal, tapi tubuhku tetap kecil? Aku melompat turun dan berdiri, tapi tinggi badanku tidak berubah.
‘Hm.’
Aneh.
Tinggi badanku tetap sama meski aku coba menoleh.
Hanya saja, mata emasku bersinar sedikit lebih aneh.
‘Eh? Ekorku tidak ada.’
Ekor yang selalu bergoyang itu menghilang.
Apa aku tumbuh supaya bisa berhumanisasi dengan baik? Hm, aku puas kalau benar begitu.
“Kau tidak lapar?”
Kebetulan suara keroncongan keluar dari perutku. Pipiku memerah karena sedikit malu dan Erno Etam tertawa begitu aku menunduk.
“…Aku lapar.”
“Ayo kita ke ruang makan dulu.”
“Iya.”
“Lalu, terimalah hadiah yang tertunda selama 5 tahun setelah kau selesai makan.”
“Iya!”
Aku menjawab dengan penuh semangat. Meski aku tidak tahu kenapa dia gigih memberikan hadiah itu.
Begitu membuka mata, aku merasa dia seperti hendak menuntaskan sesuatu dengan serangan yang gencar bagaikan orang yang sudah merencanakannya selama itu.
“…Ayrin?”
Begitu aku menoleh, seorang anak laki-laki jangkung sedang menatapku. Rambut merah dan mata emasnya…
‘Eh?’
Ternyata orang yang sangat mirip dengan Callan Etam.
“Kau sudah bangun?”
Anak laki-laki berpostur tinggi yang mirip dengan Callan Etam mendekatiku dan memajukan wajahnya ke arahku.
“Gila…”
Dia mengeluarkan kata-kata tidak sopan, lalu mengulurkan kedua tangannya padaku dan memelukku erat.
“Kenapa kau terlambat bangun…?”
“Kak… Kak Callan…?”
“Iya.”
Astaga, ternyata benar.
“Kau tambah tinggi…?”
“Karena sudah lewat 5 tahun.”
“Kau tinggi sekali…”
“Karena sudah lewat 5 tahun.”
Tingginya kini hanya selisih jarak sekepala dengan Erno Etam.
“Benar, ini bukan mimpi… Astaga.”
“A-aku sesak…”
Dia memelukku erat-erat, lalu meletakkan tangannya di bawah ketiakku. Seolah tak cukup dengan berputar sekali di tempat, dia bahkan meremas-remas pipiku.
“Ini benar-benar sungguhan…”
“Callan, cukup dan turunkan dia. Ayrin kebingungan.”
Aku membuka mulut karena melihat anak laki-laki yang tumbuh sangat tinggi itu.
Hei kalian, rasanya seperti kemarin aku masih kecil, tapi aku tidur dan bangun, lalu kalian bilang sudah lewat 5 tahun…
“Ini tidak boleh. Aku harus membawa Shillian. Ayah mau ke mana?”
“Ruang makan.”
“Setelah kau tidak ada, dia hanya mengumpulkan boneka kadal bahkan sampai mau membuatnya… Oh, tidak. Itu dunianya yang tidak boleh kau ketahui.”
Callan Etam menggumamkan sesuatu yang tidak kumengerti. Lalu, dia membelai rambutku dan tersenyum cerah dengan penampilannya yang memesona.
“Kau kembali dengan selamat, Ayrin.”
“…Iya. Aku kembali.”
Aku berhasil mengeluarkan kata-kata yang tertahan di dalam mulutku sepatah demi sepatah. Itu adalah sesuatu yang sangat ingin kulakukan.
“Iya!”
Dia mengusap-usap hingga pipiku dan menghilang ke suatu tempat dengan tergesa-gesa.
‘Apa Shillian juga tumbuh sebesar dia?’
Inikah rasanya melihat anak laki-laki tumbuh dewasa?
Sungguh aneh melihat mereka tumbuh dengan penampilan yang mengharukan tanpa menyimpang.
“Oh…? Nona?”
Kali ini adalah Laurent, si dayang.
Dia menatapku, membuka mulut dan mengerutkan bibirnya yang kaku, lalu mulai meneteskan air matanya.
“Oh…?”
“Nonaaa…”
Laurent memandangiku lama sebelum mendekatiku seolah tak percaya.
“Hah…”
Terdengar desahan kesal Erno Etam.
Seolah tidak ada hubungan dengannya, Laurent menghampiriku dan memegang tanganku dengan hati-hati.
“Rupanya Anda telah sadar…”
“I-iya…”
“Syukurlah…”
Laurent berkata bahwa ia mencemaskanku dan menangis sedih di depanku untuk waktu yang lama. Tapi pada akhirnya, dia mundur karena mendengar suara kesal Erno Etam.
“Nanti ketemu lagi, ya!”
“Pasti… Saya akan menemui Anda…”
“Iya.”
Aku sengaja tersenyum pada Laurent dan melambaikan tangan padanya dengan lembut.
“Apa yang membuatmu senang sampai tersenyum begitu?”
“Ya?”
“Kau tersenyum. Kenapa tersenyum?”
Memangnya aku tersenyum?
Sudut mulutku jelas terangkat ketika aku melambaikan tangan.
Alasan aku tersenyum…
“Karena dia mencemaskanku.”
“Jadi?”
“Aku hanya senang karena dia mencemaskanku, menangisiku, dan menyambutku.”
Benar, sekarang hal itu sangat membahagiakan. Berbahagia seperti ini saja sudah membuatku senang.
“…Tapi.”
“Ya?”
“Aku juga sangat mencemaskan putriku.”
Erno Etam berkata dengan wajah merengut.
<Bersambung>