I'm Being Raised by Villains [Bahasa Indonesia] - Chapter 49
[Unedited]
Credit: Gourmet Scans
TL by: CY
Posted by: Genoise
<Chapter 49>
Bagaimana hal ini bisa menjadi tren di ibu kota?
‘…Apa hanya aku yang tidak tahu ada tren ini?’
Meskipun begitu, menyebut manusia sebagai hewan peliharaan itu sedikit…
Aku membungkuk dengan wajah bingung, lalu mengulurkan tanganku pada Roussillon yang tidak mau bangun karena pingsan di lantai seperti tokoh utama perempuan yang menyedihkan.
Roussillon langsung menggenggam tanganku dengan hati-hati dan mengusap pipinya dengan punggung tanganku.
‘Tidak, aku menyuruhmu memegang tanganku lalu bangun.’
Dia bahkan bukan anjing sungguhan.
Begitu aku melihatnya dengan tatapan bingung, Roussillon tersenyum lebar lalu berdiri.
“Kau suka?”
“Oh…, iya…”
Aku mengangguk dengan canggung karena tidak bisa mengatakan tidak di depan mukanya, tapi aku masih bingung.
“Syukurlah.”
Erno Etam membelai-belai kepalaku dengan ekspresi puas.
“Putriku.”
“
“Aku benar ayahmu, kan?”
“Iya…”
“Kau tidak mau punya ayah yang lain?”
“Apa? Tidak mau.”
Aku mengangguk meski tidak tahu apa maksudnya. Setelah itu, dia tersenyum dan membungkuk ke arahku, lalu mencium keningku.
“Baguslah kalau begitu. Sisanya biar aku yang bereskan.”
Dia berkata seperti itu tetap dalam posisi membungkuk.
‘Ah…’
Ekspresinya seperti sedang menunggu sesuatu.
‘Jangan-jangan…’
Aku mendekatkan bibirku ke pipinya dengan lembut, lalu dia menegakkan punggungnya, seolah-olah dia selalu melakukan hal itu.
“Dia kotor karena ditinggalkan di luar, jadi aku akan mencucinya dulu dan membawanya kembali.”
Erno Etam memegang tengkuk Roussillon dan mengangkatnya, lalu memberikannya kepada pelayan.
Tidak, jangan perlakukan dia sungguh-sungguh sebagai hewan peliharaan…
Hap~
Apalagi…
‘Kenapa anak itu?’
Roussillon tidak melepaskan tanganku. Aku mendekati Roussillon karena melihat mukanya yang cemberut.
“Nanti kita bertemu lagi…”
Roussillon baru melepaskan tangannya dengan tatapan curiga setelah aku membisikkannya.
‘Omong-omong, aku pernah bilang bahwa aku akan menunggunya, dan rupanya dia tidak bisa menghubungiku.’
Dia kehilangan kepercayaannya padaku.
Begitu Roussillon keluar, Erno Etam menghela napas panjang dan pelan-pelan duduk di sofa.
Anehnya, wajahnya terlihat sangat lelah.
“Ayah… kau sakit?”
“Tidak, aku tidak apa-apa.”
Dia menutup kepalanya dengan satu tangan, itu menunjukkan ia tidak terlihat baik-baik saja.
Aku buru-buru naik ke sofa, lalu berlutut dan mengulurkan tangan untuk memegang keningnya.
“Panas…!”
Tidak berlebihan jika aku mengatakannya sepanas bola api.
“Ayah…”
Aku memanggilnya karena kebingungan, lalu dia tersenyum seperti biasa.
“Aku baik-baik saja, jadi kau kembali ke kamar dan istirahatlah.”
“Tidak mau… aku akan panggil dokter…”
Aku menggeleng dan berkata. Dia mengerang pelan.
Di lihat dari sisi mana pun, ini adalah gejala mania.
‘Fragmen keseimbangan yang tergantung di antingnya sebesar itu, tapi kenapa…’
Aku tidak dapat mengetahui sebabnya.
“Ayah, kau punya obat…? Mau kupanggilkan kakak…?”
“Tidak perlu. Kali ini bukan mania. Aku hanya perlu sedikit istirahat…”
Aku menggenggam satu tangannya dengan kedua tanganku, lalu menempelkannya ke dahiku. Setelah itu, aku menutup mata rapat-rapat.
“Aku harap ayah tidak sakit…”
“Putriku, aku baik-baik saja…”
“Ayah, jangan sakit…”
Akhirnya, sebuah keluarga muncul.
‘Awalnya, aku memintamu untuk tetap di sisiku.’
Aku tidak mau kehilangan keluarga yang kudapatkan dengan susah payah.
‘Yang penting, aku bisa berada di sisinya.’
Jadi, kuharap keluargaku sehat dan tidak sakit sedikit pun.
‘Aku ingin tinggal bersamamu untuk waktu yang lama.’
Di saat itulah.
Cahaya putih merekah dan menyelimuti tubuh Erno Etam dalam sekejap.
“… Apa ini?”
Erno Etam melihatku dengan tatapan terkejut.
Anehnnya, kelopak mata dan tubuhku tiba-tiba menjadi berat.
Ketika aku mengulurkan tangan padanya sambil tersenyum lebar, dia menggenggam erat tanganku, seolah itu sudah sewajarnya.
Dan itu adalah kenangan terakhir yang bisa kuingat.
***
“Kira-kira kapan dia sadar? Ini sudah setahun. Hei, ini tidak lucu, jadi sekarang bangunlah. Aku tidak akan menganggumu.”
“Kakak, Kak Miso masih dalam keadaan koma.”
“Waktu lalu aku melihat dengan jelas tangannya bergerak. Setelah itu, kelopak matanya bergetar“
Terdengar suara desahan seseorang.
Kelopak mataku yang tertutup tidak bergerak, seolah tidak mau terbuka lagi.
Aku tidak memberontak karena memang aku tidak ingin membuka mata.
“Kakak ini… kakak macam apa kau, selemah ini? Kau sangat menyusahkan.”
“Dia tetap kayak kita karena lahir lebih dulu. Omong-omong, nenek bilang jika sampai tahun depan dia tidak membuka matanya, lepas saja alat-alat bantu ini.”
“Nenek juga keterlaluan.”
“Nenek sebenarnya tidak menyukai Kak Miso. Nenek bilang, Kak Miso tidak ada lucu-lucunya.”
“Bukankah sedikit menyenangkan jika punya aegyo*? Itu karena dia kaku. Hei, ibumu berlutut dan memohon untuk menambahkan setahun lagi. Jika tidak, hidupmu sampai tahun ini saja.”
(*ekspresi yang lucu dan imut.)
Bohong.
Aku tidak ingin mendengarnya lagi. Kenapa aku memimpikan hal yang aneh seperti ini?
‘Aku tidak ingin bermimpi seperti ini.’
Aku tidak ingin kembali.
‘… Putriku.’
“Hei, liat. Sekarang dia bergerak lagi.”
Ayah, ayah…
‘Putriku!’
“Kelopak matanya juga berkedut.”
“Benar… Dokter, ayo panggil dokter!”
“Hei, kak! Coba buka matamu jika kau sudah sadar!”
Tolong kembalikan aku lagi ke dunia yang sebenarnya. Jangan biarkan aku bermimpi hal yang mengerikan seperti ini lagi.
“Hei, Cha Miso!”
Tidak mau…
‘Ayrin…!’
Aku mati-matian berpegangan pada suara yang terdengar dari tempat yang sangat jauh.
Saat itu, mataku terbuka.
Hosh, hosh~
Aku membuka mulutku seperti sedang menghembuskan napas, tapi suaraku tidak keluar.
‘Apa ini?’
Begitu aku mengedipkan mata, penglihatan yang tadinya buram menjadi lebih jelas.
‘Apa yang telah terjadi?’
Sepertinya aku mengalami mimpi yang tidak menyenangkan.
Mimpi macam apa itu?
‘… Tapi, aku merasa ada yang aneh.’
Aku tidak tahu kenapa tubuhku sepanas ini. Napas yang berhembus seperti asap dari gunung berapi.
“Ayrin?”
“Oh, matanya terbuka.”
“Ayrin.”
Begitu aku mengedipkan mata sekali lagi dengan pelan-pelan, aku melihat wajah yang besar.
‘Ayah…?’
Aku membuka mulut, tapi suaraku tidak keluar. Baru pada saat itulah aku menyadari bahwa penglihatanku menurun.
“Putriku, kau tidak apa-apa?”
Aku merasa seperti kerdil yang datang ke negara raksasa. Aku pun merasa sedikit malu karena berbaring telungkup di tempat tidur yang sangat besar.
Aku mengangguk.
Begitu aku menggerakkan kepala ke atas dan bawah, dia menghela napas pelan.
“Syukurlah. Aku kaget karena kau tiba-tiba berubah.”
Aku menganggukkan kepala sekali lagi.
Aku melihat sekeliling, dan ternyata Erno Etam tidak sendirian.
‘Omong-omong, tadi aku mendengar suara-suara lain.’
Aku tidak tahu karena hanya ada Erno Etam di mataku tadi, ternyata di dekatnya juga ada Callan dan Shillian.
Aku memutar-mutar mataku dengan wajah gugup.
“Ayrin, kau mendengarku?”
Callan, yang mengenakan jas putih, tiba-tiba mendekatkan wajahnya padaku.
Aku membuka mata lebar-lebar dan mengangguk, lalu melompat dari tempat tidur. Tapi, kakiku lemah sehingga aku sempoyongan dan terjatuh.
“…”
Ini bukan selimut, tapi telapak tangan.
Tangan Erno Etam. Aku menengadahkan kepala karena terkejut. Dia juga terkejut dan matanya membelalak, lalu melihat telapak tangannya sendiri yang terulur.
“… Kau harus hati-hati.”
Dia menaikkanku ke telapak tangannya, lalu mengangkatnya dengan hati-hati.
“Ayrin, aku sudah memberikan obat penurun demam, tapi… Aku tidak punya pengetahuan tentang rep… bukan, maksudku tentang hewan antropomorfik. Jadi, …”
Callan Etam berbicara, seolah sudah tidak dapat menahannya.
“Apa hal ini pernah terjadi di waktu lalu?”
Aku mengangguk.
Aku mengangguk sekuat tenaga.
“Kapan?”
Hm, bagaimana aku menjelaskan ini?
Di atas telapak tangan Erno Etam, aku memiringkan kepala sehingga Callan Etam menyipitkan matanya.
“Ah, jika tidak salah ingat…”
Ah! Begini saja.
Aku menunjuk Erno Etam dengan kaki depan begitu ada ide yang muncul di benakku.
“… Aku?”
Dan saat itulah aku melompat dari telapak tangannya ke tempat tidur untuk menunjukkan gerakan melarikan diri.
Syuuung~!
Aku seharusnya sudah mendarat dengan selamat di tempat tidur, tapi entah bagaimana aku masih ada di udara.
Kali ini di atas telapak tangan Callan Etam.
‘Apa ini…?’
Aku memutar mata karena malu, lalu Erno Etam dan Shillian Etam juga mengulurkan tangan padaku dengan ragu-ragu.
Hal yang paling menakjubkan adalah Callan Etam, yang sebelumnya ada di tempat yang jauh, berlari ke sini dalam sekejap.
Kursi yang dipegang Shillian Etam berguling di lantai.
‘… Ah.’
Tanpa sadar, aku tertawa lemas.
Aku berdiri dengan kaki belakang dan memukul dada dengan kaki depan untuk mengatakan bahwa aku baik-baik saja, tapi Callan Etam mencengkeram aku dengan kedua tangannya.
‘Tidak, aku tidak akan terjatuh.’
Ekspresi Callan Etam serius.
“Ayrin, bunuh diri tidak baik, bahkan secara sosial… Jadi, katakan pada kami jika ada masalah berat.”
‘Tidak, bukan begitu…’
“Dan jika kau mati, orang-orang di dunia ini akan menyesal untukmu, hah? Kau pikir akan seperti itu, tapi tidak begitu. Semuanya akan hidup normal dari yang kau pikirkan.”
‘Sudah kukatakan, bukan begitu.’
Begitu aku menggeleng-gelengkan kepala, Callan Etam menyipitkan matanya dan melihatku dengan seksama.
“Aku paham kau sangat sedih karena tiba-tiba berubah seperti ini, tapi tetap saja…”
‘Bukan seperti itu!’
Aku menggelengkan kepala sekali lagi dengan sekuat tenaga dan Callan Etam membuka mulutnya.
“Bukan?”
Aku mengangguk.
“Benarkah?”
Aku mengangguk-anguk.
‘Tentu saja.’
Aku mendengus.
Sekarang aku mempunyai keluarga, jadi tidak ada yang perlu disesali. Kenapa aku harus mati? Aku harus berumur panjang dan hidup untuk waktu yang lama.
Baru saat itulah Callan Etam bernapas lega.
“Aku khawatir karena kau tiba-tiba melompat turun.”
Aku menunjuk tempat tidur dengan kaki depan.
‘Aku sudah aman.’
Begitu aku menarik napas panjang dan menggelengkan kepala, Callan Etam menatapku.
“Kalau begitu, yah… syukurlah.”
Dia membelai pipiku beberapa kali dan berdeham dua kali, tapi sebuah tangan besar terulur dari suatu tempat.
Itu adalah telapak tangan Erno Etam.
“Kemarilah, putriku.”
“Aku akan menggendongnya, Ayah!”
“Tidak boleh.”
“Ah, kenapa?”
Callan Etam meninggikan suaranya dengan ekspresi tidak senang karena perkataan tegas dari Erno Etam, lalu menjawab dengan muka serius.
“Tanganmu terlalu kecil.”
Erno Etam berkata dengan tegas.
<Bersambung>