I'm Being Raised by Villains [Bahasa Indonesia] - Chapter 45
[Unedited]
Credit: Gourmet Scans
TL by: CY
Posted by: Genoise
<Chapter 45>
“…Apa ini?”
“Teh untuk memperlambat indra. Teh ini tidak membuat ketagihan dan dapat dianggap sebagai obat penenang yang tidak membahayakan tubuh.”
“…Aku tidak percaya.”
“Teh ini bercampur dengan darah elf sehingga indra Anda akan menjadi peka, sekalipun itu sudah menjadi samar-samar, seperti sejarah yang Anda lupakan seiring berjalannya waktu.”
Mata ungunya bersinar cemerlang dalam kegelapan.
Tidak ada pergerakan dari lawan bicaranya meski nafsunya yang membara membuat kulitnya berdenyut.
“Bagaimana kau mengetahuinya?”
“Kami disebut Serikat Kerja Informasi. Tidak ada informasi yang tidak saya ketahui. Anggap saja seperti itu.”
“Apa…?”
“Oh, ada beberapa lembar foto dan potret masa kecil Duchess Colin…”
Dia menjentikkan jarinya dan seseorang membawa satu berkas dokumen, lalu memberikannya ke tangannya.
Dia membolak-balik berkas dokumen tersebut dan membuka satu halaman lebar-lebar.
Ada beberapa foto dan potret masa kecil gadis yang tersenyum cantik dengan wajah imut.
“Seratus juta Lost.”
Duke Colin kita mendapatkan satu kepastian.
Kepastian bahwa laki-laki tersebut sedang tersenyum lebar di balik topengnya.
“…”
“Perlu diingat, ini adalah satu-satunya yang kami miliki karena kami tidak menyimpan salinan selain yang asli.”
Duke Colin memeriksa foto itu sambil menopan dagunya. Setelah itu, dia membuka mulut dengan raut muka serius.
“… Aku beli.”
“Anda memang Paduka yang Mulia Duke Colin, suami yang sangat mencintai istrinya. Terima kasih atas pembelian yang luar biasa ini.”
Dia berkata sambil menutup berkas dokumen.
“Lalu, yang kedua?”
“Aku ingin mencari anak itu.”
“Anak? Anak seperti apa yang Anda maksud? Sepertinya tidak mungkin seorang Duke yang berhasil menikahi cinta pertamanya mempunyai anak di luar nikah.”
“Anak antropomorfik bernama Ayrin.”
Tangan laki-laki berjubah itu berhenti.
“Ayrin…”
“Benar. Dia adalah kadal antropomorfik dan masih anak-anak yang belum memasuki masa pertumbuhan. Dia perempuan, dan setinggi ini. Rambutnya berwarna merah muda. Sepertinya, sisiknya berwarna perak.”
Duke Colin melanjutkan penjelasannya sambil menempatkan tangannya setinggi dadanya saat duduk.
“Selain itu, kemungkinan besar dia berada di tempat yang tidak bagus karena belum bisa menyimpan kekuatan sihir khas hewan antropomorfik. Jejaknya terakhir kali ditemukan di pelelangan bawah tanah.”
“Oh, begitu…”
Alis Duke Colin berkerut karena lawan bicaranya menunjukkan reaksi tak acuh.
“Sulit?”
“Tidak mungkin.”
Suaranya yang bercampur tawa kembali.
“Kalau begitu, kami akan menjalankan sesuai kondisi yang ada. Saya akan mengirim orang segera setelah mengetahuinya.”
“Baiklah. Berapa biayanya?”
“…”
Lawan bicaranya terdiam sesaat, lalu membuka mulutnya perlahan.
“Satu miliar.”
“… Apa?”
“Satu miliar Lost. Tentu saja biaya itu sudah termasuk potret yang Anda beli tadi.”
“… Tidak ada yang meminta bayaran tinggi sepertimu.”
“Kami memberikan layanan terbaik dengan mempertimbangkan secara komprehensif tingkat kesulitan pekerjaan kami dan situasi keuangan klien. Satu miliar bukan jumlah yang besar bagi seorang Duke.”
Duke Colin berpikir sejenak.
Andai dia bisa menukar uang satu miliar dengan tidur yang nyenyak sepanjang malam, dia bersedia untuk membayar sejumlah tersebut.
‘Lagi pula, aku harus menemukan anak itu.’
Saat ini tidak ada pilihan lain selain Bulan Purnama untuk menemukan anak itu.
“Aku tidak menerima kegagalan.”
“Tentu saja kami akan memberikan hasil yang memuaskan.”
“Uangnya akan kukirim segera melalui perantara.”
Laki-laki berjubah itu membungkuk, seolah mengantar kepergian Duke Colin.
“Sebelas sini.”
Saat Duke Colin mengikuti pramuniaga ke luar pintu, pemandangannya berubah lagi.
Ini adalah bar yang pertama kali ia kunjungi.
“Terima kasih sudah berkunjung, Tuan.”
Duke Colin pulang ke rumah bersamaan dengan salam yang diucapkan oleh pramuniaga secara alami.
***
“Uh, menyebalkan. Sangat sulit berpura-pura menjadi pemimpin.”
Laki-laki misterius yang berpura-pura menjadi ketua Serikat Kerja Bulan Purnama berjubah melepaskan topeng dan jubahnya, lalu melemparnya.
“Tapi, satu miliar itu, tidak terlalu banyak untuk seorang Duke. Bukankah begitu, Kapten?”
“Tidak, kok. Aku hanya meminta harga yang pantas. Dia pun sudah setuju.”
Dia menjawab dengan suara terkikik yang liar.
“Kau sudah menerima tiga permintaan yang sama, kan? Apa kau tahu siapa Ayrin itu ?”
“Entahlah. Pastikan saja sumber uang kita. Meski kini jadi masalah karena sumber uangku terblokir.”
“Pelelangan bawah tanah sangat disayangkan.”
“Oh, omong-omong….., Edith.”
Sosok itu perlahan muncul di kursi yang berada di depan meja, di mana tidak ada siapa-siapa.
Chameleon, yang bersembunyi di pemandangan sekitarnya, perlahan menunjukkan sosok aslinya.
“Anak kadal sialan itu!”
Dia meninju meja dengan bersemangat.
“Dia hanya meminta informasi keberadaan anak itu, jadi apa aku boleh membunuhnya? Aku boleh membunuhnya, kan?! Tempat bermainku yang kubuat dengan kerja keras jadi rusak gara-gara hewan itu!”
“Tidak boleh.”
“Kalau begitu, mari kita ambil dua saja dari anggota badannya. Oke? Itu sudah cukup. Aku kan tidak sampai membunuhnya!”
Ajudannya yang bernama Edith menutup mulut rapat-rapat begitu mendengar suaranya yang bersemangat.
‘Tampaknya mata Anda lelah lagi.’
Jika mau begitu, dia tidak dapat mencegahnya,
Chameleon adalah orang yang sangat cocok untuk menjadi ketua Serikat Kerja Bulan Purnama dengan temperamen yang kejam, tapi terkadang sulit untuk dikendalikan.
“Kita akan menjalankan sesuai rencana dulu.”
“Bagus, bagus. Mari kita lihat, apakah air mukanya berubah. Aku kan, sangat menyukai reptil.”
Chameleon melompat bangkit dari tempat duduknya sambil tersenyum lebar.
Dia mendekati lemari pajangan dan membuka pintunya. Di dalam lemari itu penuh dengan banyak reptil dan hewan yang diawetkan.
Di belakang hewan yang diawetkan tersebut, terdapat foto yang ditempelkan satu per satu. Itu adalah para hewan antropomorfik berbentuk manusia yang sedang ketakutan dan tidak bisa tersenyum.
“Aku sangat menantikan kadal perak.”
“Bersabarlah sampai Anda bisa mendapatkannya sebagai koleksi.”
“Kalau begitu, cari saja yang mirip.”
Dia menyeringai sambil membelai perlahan hewan yang diawetkan itu.
“Aku menantikan untuk bertemu dengannya.”
***
“Ayriiin!”
Tokoh utama perempuan berlari ke arahku dengan wajah berlinang air mata, lalu memelukku kencang. Tanpa sadar, tubuhku goyah dan duduk bersamanya di lantai.
“Oh, kakak…?”
“Huh, aku terkejut karena kau tiba-tiba menghilang… Dasar, kau ini… Kau tahu, betapa marahnya paman…”
Aku tersenyum canggung mendengar suara tangisannya, lalu menepuk punggung tokoh utama perempuan.
“Kakak, aku kangen.”
“Aku juga! Aku juga merindukanmu!”
Tokoh utama perempuan mendengus karena bersemangat, dan sepakat dengan yang aku katakan.
“Argh, aku selalu berhadapan dengan para paman setiap harinya. Kini, aku bisa lebih hidup karena ada kau di sini.”
“Hah…?”
Apa dia benar-benar tokoh utama perempuan?
Bukankah seharusnya kami dalam keadaan bersenang-senang sambil mengatakan ‘tokoh utama perempuan hebat~ 💕’ karena kami sudah menjadi dekat satu sama lain?
‘Dia bertemu Richard dan Roussillon ketika dewasa…’
Cerita masa kecilku sebagian besar mengalir dengan cara berbeda di keluarga Duke.
“Tapi kan, ada para kakak…?”
“Kakak? Oh, si anti sosial yang terpaku di sudut ruang penelitian dan si penggila ilmu pedang itu?”
“… Oh?”
“Hah, mereka sangat berbeda dengan kamu yang lucu… Mereka hanya merepotkan saja. Tidak menggemaskan sedikit pun… Hah, sesuatu yang lucu memang terbaik.”
Sharne, sang tokoh utama perempuan, menyentuh pipiku dalam waktu yang lama sebelum bangkit dan mengulurkan tangannya padaku.
“Maaf, sepertinya aku terlalu senang karena bertemu kau lagi. Aku senang sekali bisa bertemu lagi denganmu.”
Tokoh utama perempuan membantuku berdiri, lalu memelukku erat-erat.
“Terima kasih karena kau telah kembali dengan selamat.”
“… Iya.”
Aku tersenyum canggung mendengar salam yang menggelitik itu.
Sebelum Sharne melepaskan pelukannya, dia berbisik di telingaku dengan suara yang sangat kecil.
“Kakek juga sangat lama menunggumu.”
Itu cukup menyeramkan.
Seperti ucapan yang direncanakan.
“Semangat!”
Semangat untuk apa.
Dia melarikan diri seperti itu setelah membuat orang lain gelisah.
Aku melihat kepergian tokoh utama perempuan, lalu menelan ludah dan menoleh ke depan.
Duke Mirel menatapku dengan ekspresi tegas.
“Ah, apa kabar…, Kakek.”
Senyum saja dulu.
Aku tersenyum lebar dan menyapanya dengan canggung.
<Bersambung>