I'm Being Raised by Villains [Bahasa Indonesia] - Chapter 40
[Unedited]
Credit: Gourmet Scans
TL by: CY
Posted by: Genoise
<Chapter 40>
Aku terdiam dan menahan napas saat menatap tangan yang menjulur ke arahku.
Apa yang ada di depanku seperti mimpi, jadi aku tidak bisa meraihnya. Karena akan terasa sakit jika mimpi itu hilang saat aku meraih tangan itu.
“Jika kau perlu waktu, aku akan memberikanmu waktu untuk memikirkannya.”
“…”
“Tapi, pikirkanlah itu di sisiku, putriku.”
“…”
“Aku terkejut karena kau tiba-tiba menghilang.”
Aku menarik napas dalam dan mengepalkan tangan erat-erat mendengar suara ramah yang masih kuingat.
Dia masih mengulurkan tangannya di depanku, dan aku masih tidak bisa meletakkan tanganku di atas telapak tangannya.
“Aku hanya… mainanmu, kan…”
“Apa maksudmu?”
“Ayah, dan anak perempuan… Semuanya hanya permainan. Jika Ayah sudah bosan, aku harus pergi.”
Jika memang seperti itu, aku tidak ingin kembali. Hidup penuh ketakutan selalu menyulitkan.
Aku juga lelah berakting supaya dicintai. Tapi, aku hidup setiap saat seperti itu di kehidupan sebelumnya.
Baik di tempat kerja atau universitas, aku menjalani kehidupan yang sesuai dengan selera orang lain. Sambil menciptakan citra ‘aku’ yang disukai oleh orang lain.
Tapi, dia tidak tahu betapa melelahkannya itu.
Meski temanku banyak, tapi tidak ada teman sejati. Karena aku hanya bisa mempertahankan hubungan yang dangkal dan luas dengan citra palsu.
“… Benar.”
Dia berkata pelan.
Pundakku bergetar hebat.
“Awalnya memang seperti itu.”
Tidak, jika dia berkata seperti itu, seolah-olah terdengar seperti sekarang tidak seperti itu.
“Tapi, tampaknya aku tulus daripada yang kau pikirkan, bahkan daripada yang kupikirkan.”
“…”
“Ketika kau memanggilku ‘ayah’ dan semua orang melarikan diri, saat itulah hanya putriku yang berlari ke depan dan menyelamatkanku. Sejak saat itu, mungkin aku sudah menganggapmu sebagai anak kandungku.”
Ucapan yang tidak bisa kupercaya.
Manusia bisa membenci anak kandungnya sendiri. Bahkan manusia juga bisa menghancurkan anak yang dikandung dan dilahirkannya.
“Aku… adalah kadal yang menjijikkan dan jelek… Ayah kan, tidak suka kadal…”
Fakta bahwa Erno Etam membenci reptil sudah disebutkan beberapa kali di dalam novel.
Erno Etam mengangkat satu alisnya saat mendengar ucapanku.
“Tidak.”
“Apa…?
“Kau adalah hewan yang paling aku suka.”
“… Apa?”
“Dari awal aku tidak peduli, apakah kau hewan antropomorfik atau bukan.”
Aku menghela napas pendek mendengar ucapannya yang tidak kuduga.
“Tapi, aku harap kau mengatakannya terlebih dulu. Aku tidak mau mengetahuinya dengan cara seperti ini.”
“… Oh.”
“Tapi, putriku pasti ketakutan.”
Aku memang takut.
Aku takut mimpi yang kupertahankan mati-matian hancur dalam sekejap.
Yah, walaupun pada akhirnya dihancurkan secara paksa oleh Myla.
“Aku juga tidak bisa berhumanisasi dengan benar…”
“Aku akan menangkap hewan antropomorfik yang bisa mengajarimu dari benua selatan.”
“Rahasiaku juga banyak…”
“Apa pun yang kau lakukan, aku akan mendukungnya dari belakang. Putriku hanya duduk dan berikan perintah apa saja.”
Aku perlahan mengangkat tanganku yang gemetaran.
Aku tidak punya keluarga.
Selama aku hidup, aku tidak pernah sekalipun terikat di suatu tempat.
Dia menunggu dengan sabar meski gerakanku lambat.
“Apa aku boleh tinggal di sana…?”
“Iya.”
Jawaban yang singkat, tapi terdengar seperti kepastian bagiku.
Kemudian, ketika aku meletakkan tanganku ke atas telapak tangannya, dia menggenggam erat tanganku dan mengangkatku ke pelukannya.
“Bagaimana Ayah tahu… aku ada di sini?”
“Aromamu yang menyegarkan…”
Dia membuka mulutnya perlahan.
“Selalu muncul di sekitarku.”
Erno Etam berkata sambil memelukku erat-erat.
‘Aroma menyegarkan?’
Aku menempelkan hidung di baju dan mengendus-endus, tapi tidak tercium bau tertentu.
“Apa melarikan diri menyenangkan, putriku?”
“… Tidak.”
“Benar. Untuk melarikan diri yang kedua… kau harus memberitahuku terlebih dulu.”
Dia memberikan peringatan dengan suara yang dingin.
‘Jika aku memberitahu dulu lalu melarikan diri, apa itu disebut sebagai melarikan diri…?’
Itu namanya hanya jalan-jalan.
“Kau sudah kembali, Ayrin.”
“… Aku pulang.”
Dia menepuk punggungku begitu mendengar jawabanku yang lembut.
Apa dia sudah lega?
Pandanganku menjadi kabur. Kepalaku jatuh di pundak Erno Etam bersamaan dengan tepukan hangat di punggungku.
‘Roussillon… menyuruhku untuk menunggunya.’
Itulah yang terakhir aku pikirkan.
***
“Terem.”
Erno Etam sedang melihat Ayrin yang sedang tertidur, lalu memanggil seseorang.
Kemudian, seorang laki-laki berbaju hitam muncul dari suatu tempat, lalu merundukkan tudungnya dan bersujud di hadapan Erno Etam.
Terem.
Mereka adalah kelompok yang telah lama membantu keluarga Etam dan dapat melakukan pekerjaan kotor apa pun dengan sempurna.
Mereka juga merupakan bayangan keluarga Etam sekaligus sosok arogan, yang hanya mendengarkan perintah majikan atau majikan berikutnya yang telah mereka pilih.
“Bersihkan semuanya.”
“Baik, Tuan Muda.”
Laki-laki bertudung hitam itu dengan santai menyebut panggilan yang paling dibenci Erno Etam, lalu menghilang.
Erno Etam tidak menggunakan Terem. Biasanya mereka tidak diizinkan untuk mendekati kamar yang ditinggalinya.
Erno Etam, yang tidak mempunyai keinginan untuk mewarisi keluarga Etam, tidak menggunakan Terem merupakan pemberontakan terhadap Duke Mirel.
Dia melanggar aturan tidak tertulis.
Maka dari itu, Khan, sang ketua Terem, tidak bisa melewatkan kesempatan ini.
Karena, penggunaan Terem oleh Erno Etam berarti dia juga berpikir untuk mewarisi posisi Duke.
‘Apa karena anak itu?’
Meski mereka berusaha sangat keras dan mengikutinya, Tuan Muda gila, yang pernah mencengkeram tenggorokan dan sampai melemparkan kotoran, sedang memanfaatkan mereka.
‘Dia bahkan tidak muncul meski aku mencarinya…’
Khan bersama Terem juga mencari tahu tentang anak itu, tapi tidak bisa menemukannya.
‘Ini sungguh luar biasa, dia muncul setelah bersembunyi di suatu tempat.’
Sulit dipercaya bahwa pergerakan Tuan Muda yang seperti benda mati disebabkan oleh seekor hewan antropomorfik muda.
Khan segera pergi dari pandangan Erno Etam untuk memberikan kabar baik ini kepada Terem lainnya.
“Setelah kupikirkan, aku bisa memberikanmu nama keluarga, Putriku. Dengan begitu, kau tidak akan berpikir untuk meninggalkan rumah karena menyandang nama keluarga.”
Dia tidak mendengar ucapan Erno Etam. Jika mendengarnya, semua Terem akan menyesal.
***
“… Hah.”
Roussillon, yang telah kembali setelah mengantar Enosh sampai ke istana, menghembuskan napas.
“Nyonya…”
Dia mengerutkan alisnya.
Tirai pelindung yang ia tinggalkan sudah rusak, dan rerumputan di sekitarnya sudah terinjak-injak di sana-sini.
Tapi, jejak kaki anak kecil itu tidak terlihat seperti jejak melarikan diri.
Dengan kata lain, Ayrin dengan patuh mengikuti orang yang datang untuk mencarinya.
“Padahal dia bilang akan menungguku…”
Dia memiringkan kepala.
Usaha yang telah ia lakukan tidak berguna sama sekali.
“Dia terlalu banyak berbohong.”
Dia menghela napas pendek dan menundukkan kepala. Rambut putihnya terjuntai dan berkibar di depan matanya.
“Ke mana perginya nyonyaku…”
Dia menurunkan pandangannya secara perlahan.
“Ini sedikit menyebalkan, tapi aku harus pergi untuk berdoa–hal yang sudah lama tidak kulakukan.”
Roussillon menyesal dan menggosok tempat di mana Ayrin seharusnya berada dengan ujung kakinya beberapa kali, lalu berbalik.
Tidak, dia hendak berbalik.
Andai saja seorang laki-laku tinggi bertopeng rubah dan memegang pedang bermata rusak tidak menghalangi jalannya saat berbalik.
“Apa ini? Aku tidak tahu darimana orang yang berpenampilan menawan ini merangkak masuk, tapi… tidak buruk juga.”
Roussillon menyeringai.
“Suasana hatiku sedang tidak baik, jadi sebaiknya kau minggir.”
“Suasana hati kakakmu ini juga sedang tidak baik. Karena beberapa barang kelas atasnya kabur. Ditambah lagi…”
“Ah, sudahlah.”
“Baiklah, baguslah kau cepat mengerti. Bagus, bagus. Jika kau mengikuti perkataanku…”
“Berlutut! Berani-beraninya kau membanggakan diri di depan orang lain.”
Saat lingkaran cahaya putih muncul dari dalam mata biru Roussillon, laki-laki tinggi bertopeng rubah itu berlutut.
Roussillon menatap mata laki-laki itu, lalu menyeringai.
“Sebaiknya kau bertobat.”
“A-apa maksudmu… Dasar b*j*ng*n cilik…!”
“Jika semuanya kembali ke ketiadaan, sebenarnya tidak ada yang dibagi dari kebaikan dan keburukan.”
Telapak kecil Rousillon mendarat di atas kepala laki-laki itu seperti pendeta yang sedang menurunkan berkat.
“Apa yang kau lakukan…?!”
Cahaya putih menutupi kepala laki-laki itu. Setelah beberapa saat, Roussillon mengangkat tangannya.
“Bertobatlah seumur hidupmu. Hai, orang yang berdiri di depanku hari ini.”
Mata orang itu melotot dan mulutnya menganga.
“Hehe…! Be-be-bertobat…. Huehehehe, hihihi… Bertobat…”
Pria yang pikirannya jadi kosong seperti selembar kertas putih itu membuka mulutnya dan mulai tertawa terbahak-bahak.
Roussillon meninggalkan tempat itu dengan langkah perlahan.
Tak lama kemudian, kastil fantasi yang berdiri tegap dipenuhi oleh jeritan dan bau darah seperti mimpi.
<Bersambung>