I'm Being Raised by Villains [Bahasa Indonesia] - Chapter 31
[Unedited]
Credit: Gourmet Scans
TL by: CY
Posted by: Genoise
<Chapter 31>
“Urgh…”
Mustahil mengangkatnya dengan kekuatanku sendiri.
Pada saat itu, dia naik ke kereta kuda dengan langkah besar, seolah-olah sedang berjalan di udara dalam satu langkah.
“Kenapa dia ikut?!”
“Oh…”
“Aku ini anak anjingnya Nyonya, jadi aku juga naik.”
Roussillon berkata dengan nada girang. Tidak, bukan begitu.
“Bembemku tidak memelihara anak anjing.”
“Dia memeliharaku dengan baik, kok.”
Mereka berdua duduk berhadapan dan mulai berkelahi. Mereka meraih dan menarik kedua tanganku.
“Bembem, duduk di sini!”
“Nyonya, duduklah di sebelah sini.”
Matanya yang biru berkedip dengan lembut. Setiap itu terjadi, mata ungu kecubung Richard berkobar-kobar seperti api.
Aku berpikir sejenak, lalu duduk di lantai.
“Aku duduk di sini saja.”
Seketika Roussillon menarikku ke dekapannya dan mendudukkanku di kursi yang ia duduki tadi.
Lalu, dia perlahan duduk di kakiku dan menatapku sambil menyeringai seperti anak anjing yang sangat patuh.
“Biar saya yang duduk di sini.”
‘Aku tidak tahu apa maksud tersembunyi dari anak ini.’
Sebenarnya, dia tidak senaif ini.
Kuil adalah tempat yang semrawut seperti istana kerajaan. Ada ilusi yang tersebar bahwa mereka akan bersih sebanyak mereka menyembah warna putih, tapi kenyataannya tidak seperti itu.
Mereka adalah kelompok yang dipersatukan oleh diskriminasi yang hanya memuja manusia.
Mereka menggunakan hewan antropomorfik sebagai budak dengan dalih merawatnya, dan melatih anak-anak yang dikaruniai kesucian untuk menjadikan mereka sebagai boneka kuil.
Bahkan di dalam kuil pun percekcokan dan perkelahian untuk bertahan hidup tidak ada habisnya.
Dan Roussillon adalah tokoh, yang secara berani dengan kekuatannya sendiri, mengambil posisi pendeta agung di kuil yang kacau balau tersebut.
Jadi, dia pasti punya sisi yang lebih gelap dalam dirinya dibandingkan dengan orang jahat.
‘Tentu saja saat ini dia masih anak-anak.’
Dalam <Diadopsi>, Roussillon memasuki kuil sebagai calon pendeta, dan berperan sebagai pendeta yang berhati tulus sesuai yang mereka perintahkan.
Setelah 10 tahun pendidikan, para pemuka kuil merasa lega dan menyerahkan posisi pendeta agung kepada Roussillon. Saat itu, terjadi pertumpahan darah di kuil.
Semua pejabat yang terlibat korupsi dikikis dan mulai dilakukan pembersihan.
Saat itu, setengah dari orang-orang yang bekerja di kuil mati atau diusir.
Jadi, dia dinamakan ini di dalam novel.
‘Iblis bercahaya putih suci’.
Nama itu diberikan karena tidak ada satu pun mayat yang tertinggal di tempat cahayanya lewat.
Dia sungguh seorang tiran kuil dan iblis.
Tentu saja, ini adalah situasi dalam kuil dan perubahan yang diharapkan ketika dilihat dari luar.
Tepat setelah Roussillon menduduki jabatan pendeta agung, penggelapan, pelecehan, dan diskriminasi benar-benar hilang tanpa jejak.
‘Ah, entahlah.’
Semua akan kembali pada waktu yang tepat.
Aku menatap kosong ke luar jendela kereta kuda yang berderap, lalu menghela napas dalam-dalam.
Raut muka Richard yang tegang entah kenapa tidak seperti biasanya.
‘Itu karena aku sudah menulis surat untuk Albion…’
Jika dia mampir sebentar, dia pasti memeriksanya.
<Jika kami tidak kembali, datanglah ke rumah Duke Colin. Kami pergi untuk mencari orang tua Richard… Rich.>
Aku mengingat surat yang kutinggalkan untuk Albion, lalu menghembuskan napas pelan-pelan.
Akhirnya, kereta kuda sampai di rumah Duke Colin.
***
“Sebelah sini.”
Seolah rumor sudah beredar, para pelayan di kediaman Duke Colin menatap tajam ke arah kami bertiga.
Kami datang dengan mengenakan jubah untuk berjaga-jaga, dan kupikir itu lebih baik.
‘Karena aku juga akan bahaya jika menonjol seperti ini…’
Itu karena aku sedang bersembunyi.
‘… Tanganku berkeringat dingin.’
Aku melihat kedua tanganku yang dipegang mereka berdua dengan mata bergetar. Tangan kananku dipegang Roussillon, sedangkan tangan kiriku dipegang oleh Richard.
Richard jelas gugup. Meski dia bilang tidak membutuhkan keluarga, tapi pasti bukan itu yang ia rasakan sebenarnya.
“Kalian boleh masuk.”
Kesatria yang mengantar kami membukakan pintu ruang tamu dengan sopan.
Begitu kami masuk ke dalam, seorang pria yang sedang duduk di sofa langsung bangkit dari tempat duduknya,
“Paman, apa kabar?”
Aku menundukkan kepala, lalu melepaskan jubah.
“… Baik.”
Dia menatapku dengan wajah sedikit ragu, lalu mengalihkan pandangannya lagi dan menatap dua anak yang sedang memegang kedua tanganku secara bergantian.
Mungkin karena mereka berdua menggunakan jubah, jadi dia terlihat tidak bisa mendekatinya.
Dia merasa kesulitan karena tidak dapat bertanya siapa yang merupakan putranya yang sebenarnya.
Aku juga tidak yakin, apakah Richard sedang berpikir bahwa ayahnya tidak bisa mengenali putranya sendiri.
‘Perlukah aku membantunya?’
Aku menoleh ke arah Richard yang sedang tertunduk dan memegang erat tangan kiriku.
“Richard, lepaskan jubahmu dan beri salam.”
“…”
Richard tidak mengangkat kepalanya, dan setelah beberapa saat dia pelan-pelan menurunkan jubah yang menutupi kepalanya.
Richard, yang sejak tadi menunduk saja, mengangkat kepalanya secara perlahan.
“…!”
Mata Duke terbelalak melihat anak itu.
“… Ah.”
Emosinya bersarang dalam raut mukanya yang sedingin es.
Sepertinya dia mengenali putranya hanya dengan melihat kepala sang anak yang tertunduk.
“… Richard.”
Bahu Richard bergetar mendengar suaranya yang hangat dan menyejukkan itu.
“Richard, putraku… Maukah kau melihatku sekali saja…?”
Dia berjalan pelan-pelan dan berlutut di atas karpet, lalu mengulurkan kedua tangannya yang putih pucat ke pipi Richard.
“…”
“…”
Dua pasang mata yang saling berbeda bertemu di udara.
“Kenapa…”
Richard, yang sepenuhnya tenggelam dalam beban berat, berbicara tertahan.
Seolah lehernya terasa berat, Richard meraba-raba lehernya seperti biasa.
“Kenapa… kau membuangku saat aku bayi, dan… baru mencariku sekarang?”
“…”
Itu perkataan yang tajam.
Richard membuka matanya dengan galak karena kemarahan dan kebencian yang menumpuk sejak lama lebih besar daripada rasa rindunya.
Air mata menggenang di matanya dan bibirnya terkatup, seolah-olah dia tidak akan membiarkan air matanya jatuh, bagaimanapun caranya.
“Ini pasti terdengar seperti mencari-cari alasan bagimu, tapi aku dan perempuan itu… tidak pernah membuangmu.”
Raut muka Duke Colin, yang diumpamakan sebagai manusia berdarah dingin, manusia tanpa darah dan air mata, dan mengeluarkan darah biru, bukan darah merah jika terluka, berubah dan kedua tangannya memegang pipi anak itu dengan hati-hati.
Dia seolah-olah berhati-hati menyentuhnya.
“Tidak hari di mana aku tidak merindukanmu. Aku, dan juga perempuan itu… setiap hari kami berkelana untuk mencarimu.”
Suaranya mengerikan, tapi kehangatan dan kasih sayang yang terkandung di dalamnya begitu besar dan tak terukur.
Aku memandang adegan itu seperti orang linglung.
‘Inilah keluarga.’
Akan ada banyak orang tua dan anak-anak di dunia ini yang terpisah.
Akan ada lebih banyak orang tua yang mencintai anaknya daripada orang tua yang tidak mencintai anaknya.
Keluarga yang dipertemukan kembali seperti mimpi ini pasti akan ada di dunia.
Hanya aku…
Yang sedikit kurang beruntung seperti biasanya.
Benar, pasti hanya kemalangan yang sangat kecil yang mendekatiku.
‘Yah, begitulah. Aku juga bisa tidak beruntung.’
Meskipun begitu, aku harap bisa bertemu kembali dengan keluargaku seperti ini.
“Kami mencintaimu lebih dari siapa pun di dunia. Kau pasti pernah mengalami masa-masa yang menyakitkan… Kedengarannya seperti mencari alasan, tapi maukah kau mendengarkanku?”
“…”
Richard menoleh perlahan dan melihatku. Dia hampir menangis.
Raut wajahnay seolah bertanya, apakah benar akan baik-baik saja. Duke Colin juga sedang melihatku.
Aku tersenyum dan mengangguk.
“Dia adalah ayah Richard. Katakan apa yang ingin kau katakan. Apa kami perlu pergi?”
“Jangan! Tetaplah di sisiku… Di sisiku, Bembem… Kau sudah janji!”
Akhirnya, air matanya jatuh dan Richard memegang tanganku erat-erat.
‘Jika dia menangis di sini, itu seperti aku yang membuatnya menangis.’
Saat aku menoleh sedikit, mata Duke Colin terbuka lebih besar. Matanya seolah hampir memangsaku.
Aku buru-buru menggelengkan kepala, lalu menggenggam tangan Richard dan duduk di sofa bersama dengan Roussillon.
Duke Colin bercerita panjang lebar dengan sangat tenang.
Wajah Richard yang penuh curiga pada akhirnya menjadi dingin dan terbakar oleh dendam.
“Aku pasti akan menangkap orang-orang itu dan membunuh mereka.”
‘… Eh? Apa ini benar?’
Bukankah biasanya yang pertama kali dilakukan adalah menangis sambil berkata “Ayah! Ternyata kau tidak membuangku!”
“Aku sudah mengurusnya. Kalau tahu akan seperti ini, aku akan membiarkannya.”
“Apa Ayah membunuh mereka dengan kejam?”
“Lebih dari yang kau bayangkan.”
Mereka berdua terlihat sebagai ayah dan anak yang penuh kasih sayang dalam sekejap.
… Penyesuaian dengan cara yang aneh.
‘Tapi, yang penting… Ini terselesaikan dengan baik, kan?’
Mata Duke Colin memandang Richard dengan tatapan penuh kasih sayang. Ini seperti mimpi.
Dia memeluk Richard, seolah anak itu sangat berharga untuknya, dan tidak melepaskannya.
“Ibumu juga sangat merindukanmu. Dia sedang sakit, jadi tidak bisa datang ke sini…”
Dia berbicara sambil menempelkan dahinya ke dahi Richard dengan pelan.
“Hari ini dia beristirahat lebih awal. Dia akan senang sekali jika kalian makan malam bersama.”
“… Iya.”
Richard berkata, lalu tersenyum.
Saat itu, Duke Colin mengalihkan pandangannya padaku.
Aku sangat gugup melihat tatapannya yang dingin sejak lahir, tapi aku tidak menghindar dan membalas tatapannya.
Kemudian, raut wajah Duke Colin menjadi sedikit aneh.
<Bersambung>