I'm Being Raised by Villains [Bahasa Indonesia] - Chapter 29
[Unedited]
Credit: Gourmet Scans
TL by: CY
Posted by: Genoise
<Chapter 29>
‘Penampilannya benar-benar gila…’
Duke Colin adalah pria yang sangat menawan, sehingga tidak aneh jika ia disebut sebagai ice age yang telah lama terperangkap di dalam es.
Rambutnya, yang berwarna biru langit yang dingin, semakin menjuntai ke bawah warnanya memudar menjadi putih, seperti salju yang turun di lapangan bersalju.
Rambutnya mirip dengan Richard. Dilihat seperti ini, penampilan mereka berdua pun sangat mirip.
Siapa yang menyangka bahwa pria ini sudah berkeluarga.
‘Tapi, tatapannya sangat dingin.’
Tatapannya seolah sedang mempertimbangkan bagaimana membunuh pembohong ini, tanpa ada harapan sama sekali.
Itu bisa dimengerti, tapi sekujur tubuhku merinding.
“Kau tidak berbicara?”
“Ah… Rambutnya panjang… Matanya berwarna ungu, lalu…”
Aku tersadar dan segera bicara, lalu dia mengangguk-angguk sambil menyuruhku melanjutkannya. Aku menelan ludah.
‘Gila, aku pasti benar-benar akan mati.’
Begitu aku memberikan jawaban yang salah di sini, aku jelas-jelas akan menjadi mayat.
“Rambutnya… ungu, lalu… Mirip dengan Paman… Richard juga mempunyai rambut yang semakin memudar ke bawah…”
Saat aku berkata sampai situ, matanya yang tanpa emosi memancarkan sebuah cahaya untuk pertama kalinya.
“… Apa katamu?”
“Ya?”
“Barusan, kau bilang siapa namanya?”
“Richard…”
“Kau bilang, rambutnya semakin memudar ke bawah?”
“Iya…”
Dia berkata demikian, lalu menarik napas dalam-dalam dan bangkit perlahan dari tempat duduknya. Kemudian dia pelan-pelan duduk di sofa.
“Duduklah di situ.”
“Baik.”
Aku duduk di depannya dengan patuh.
“Apa lagi yang kau ingat?”
“Oh… Dia memakai anting berwarna perak di telinga kanan. Antingnya sepanjang ini…”
Ketika aku berbicara sambil membentangkan sejengkal jari, ekspresi datar Duke Colin goyah sesaat.
“Apa mirip dengan ini?”
Pria yang terkesan tenang tersebut bangkit dari tempat duduknya dengan tergesa-gesa, lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam laci dan menunjukkannya padaku.
“Iya! Seperti itu.”
“…”
Dia melihatku dengan tatapan tidak percaya, lalu kembali memandang anting tersebut.
“… Anak itu.”
“Ya?”
“Anak itu ada di mana?”
“Ada di ibukota.”
“Cepat beritahu aku lokasinya…”
Aku buru-buru meraih ujung bajunya begitu dia mau bangkit dari tempat duduknya dengan tidak sabar.
“Aduh…”
Lututku terbentur meja sofa dengan keras karena terlalu buru-buru meraihnya.
“Apa yang kau lakukan…?”
“Aku akan mengantar Anda besok. Hari ini tidak bisa…”
“… Kenapa?”
“Richard bisa marah…”
“Marah? Kenapa harus marah?”
Jelas dia akan marah karena aku meninggalkannya tanpa bicara pun.
“Hmmm… Sebenarnya aku datang ke sini tanpa sepengetahuan Richard.”
“… Apa?”
“Jadi, aku harus menenangkannya dulu.”
Aku mengerucutkan bibir dan tersenyum malu. Lalu, Duke Colin tidak bisa berkata apa-apa, lalu terdiam sejenak
“Aku akan datang besok.”
“Kau bicara hal yang tidak masuk akan…”
Dia mengerutkan keningnya yang menawan.
“Richard belum siap bertemu Paman. Aku akan membawanya.”
“… Bagaimana kau tahu bahwa anak itu adalah putraku?”
Hm, sebaiknya aku mengatakan apa, ya?
“Dari sebuah berita.”
“Berita?”
“Aku mendengar berita bahwa Anda akan memberikan banyak uang.”
Itu kenyataan.
Selama bertahun-tahun, dia menyebarkan berita tentang anaknya dengan hadiah yang sangat besar.
Tapi, selama ini orang yang datang mencarinya hanya para penipu.
Para penipu yang mencari uang terkadang menyamarkan anak mereka sendiri lalu membawanya.
“Uang…”
Dia tersenyum simpul mendengar ucapanku, lalu menyeka wajah dan menundukkan kepalanya.
“Hah, aku bisa memberikannya berapa pun. Asalkan saja anak itu… bisa bertemu lagi dengan ibunya.”
Aku tersenyum canggung, lalu mengangguk setelah mendengar perkataannya.
“Baik, sampai jumpa besok.”
“Siapa kamu?”
“Aku Ayrin.”
Dia terdiam sejenak setelah mendengar ucapanku, lalu mengubah ucapannya menjadi pertanyaan.
“Apa hubunganmu dengan anak itu?”
Oh, jika bicara tentang hubunganku dengan Richard, Bembem dan majikan…?
“Hewan… peliharaan?”
Karena dia bilang akan merawatku sebagai hewan peliharaan sejak pertama kali menangkapku, mungkin seperti itu dari sudut pandang Richard?
“… Apa?”
Duke Colin bertanya dengan wajah penuh kebingungan.
Aku menganggukkan kepala sekali lagi.
“Hewan peliharaan…!”
“…”
Karena aku adalah seekor kadal.
Tapi, dia menutup rapat-rapat mulutnya dan menatapku dengan raut wajah yang seperti mendapat kejutan besar.
“Besok, aku akan mengirimkan kereta kuda.”
Duke Colin tidak bisa menyembunyikan raut wajah terkejutnya, lalu menatapku. Setelah sekian lama, akhirnya dia memberikan perintah padaku untuk meninggalkan tempat ini.
Dalam perjalanan pulang, aku sedikit kesal karena prajurit bertanya-tanya padaku, bagaimana aku bisa selamat.
Tidak itu saja. Begitu aku keluar, calon pendeta agung masa depan langsung berlari ke arahku seperti anak anjing.
Bagaimanapun juga, aku juga harus menjaganya dan kembali ke penginapan.
***
Nah, sekarang bagaimana?
Richard jelas-jelas akan marah besar karena aku pergi, lalu kembali dengan membawa orang asing.
Aku berdiri di depan penginapan, lalu menoleh dan melihat anak laki-laki berjubah yang… mungkin saja, merupakan calon pendeta agung masa depan.
“Ada alasan kenapa kau mengikutiku?”
“Ada.”
“Apa?”
“Karena Anda adalah majikan saya.”
“Aku bukan majikanmu.”
“Anda memberikan saya makanan. Jadi, Anda adalah majikan saya.”
Aku melihat anak laki-laki itu menatapku sambil tersenyum cerah.
‘Dia bukan anak senaif ini di dalam novel.’
Pasti ada maksud tersembunyi, tapi aku tidak tahu apa itu.
‘Bagaimanapun, besok Richard akan pergi ke rumahnya…’
Ini tidak berhubungan, kan?
Tapi, aku ragu apakah aku boleh membawa anak ini ke panti asuhan.
Aku menarik napas dalam-dalam dan masuk ke kamar penginapan dengan hati-hati.
“Begini, kau tunggu sebentar di sini.”
“Kenapa?”
“Aku harus menjelaskan sesuatu kepada teman di dalam.”
“… Iya.”
Pendeta agung masa depan mengangguk dengan patuh.
Kreeek.
Yang pertama kali kulihat begitu masuk ke kamar dengan perasaan tidak nyaman adalah seorang anak laki-laki yang sedang duduk di kursi seperti patung batu.
Saat aku masuk, dia membuka matanya lebar-lebar dan memelototiku.
Aku tersenyum canggung, lalu membuka mulut dengan hati-hati.
“… Hai, Richard…”
“Kau dari mana?”
“Jalan-jalan… sebentar…?”
“Jalan-jalan, dari pagi sampai malam?”
“Iya… Aku tersesat.”
“Kau tidak kabur dariku, kan?”
Richard melompat dari kursinya dan menghampiriku dengan langkah panjang.
Richard mendekat dengan wajah bersemangat, lalu meraih pundakku.
“Kau juga mau membuangku?”
“… Tidak, aku tidak membuangmu.”
Aku buru-buru menggeleng.
“Aku kembali, kan. Aku juga beli roti ini…”
Aku mengeluarkan scone yang kubeli di jalan pulang untuk meredakan sedikit amarah Richard.
Tatapan Richard menjadi luluh ketika aku menyelipkan scone ke dalam pelukannya.
“… Aku terkejut karena kau tidak ada ketika aku bangun.”
“Aku sudah menulis surat…”
“… Iya, aku sudah membacanya. Tapi, tetap saja…”
Richard menarikku ke dalam pelukannya untuk menenangkan kegembirannya yang membuncah. Napasnya yang hangat menyentuh tengkukku.
Dia sangat gugup sehingga ujung jarinya terasa dingin dan bahkan sampai bergetar.
‘Tetap saja, kau pasti cemas.’
Ditelantarkan oleh seseorang menjadi sebuah trauma bagi Richard.
Seperti merasa gelisah berkali-kali selama menunggu setelah membuat janji dengan seseorang, apakah janji itu untuk mempermainkan atau menipu.
“Maafkan aku.”
“Tidak, lain kali kita pergi bersama. Aku tidak suka sendirian. Kau sudah janji untuk ada disisiku.”
“Iya.”
Aku mengulurkan tangan, lalu menepuk kepala Richard beberapa kali.
“Besok kita pergi sama-sama.”
“Ke mana?”
“Aku sudah menemukannya!”
Aku meraih tangan Richard, lalu mengatakannya. Richard menatapku dengan wajah tegang.
“… Apa?”
“Keluarga! Ayah Richard!”
“… Kau sudah menemukan ayahku?”
“Iya.”
“Kau mau mengembalikanku kepada keluarga yang telah membuangku? Apa aku merepotkan sehingga kau mau membuangku?”
“Iya! … Eh”
Bagaimana dia bisa mengartikan kalimat ‘aku telah menemukan keluargamu’ seperti itu?
Aku tidak bisa menyembunyikan kebingunganku dan melihat Richard mengepalkan tangannya.
Wajah seorang anak laki-laki yang dipenuhi pengkhianatan itu memerah, seolah-olah akan menangis.
“Pada akhirnya, kau pun merasa aku menyusahkanmu…”
Melihat air matanya mengalir, aku mengulurkan tangan padanya.
Richard mundur selangkah dan menyeka matanya dengan lengan bajunya. Aku bergegas meraih tangan Richard.
“Lepaskan.”
“Tidak.”
“Kenapa tidak? Aku tidak membutuhkan keluarga yang telah membuangku! Aku tidak butuh semuanya! Kau dan aku adalah keluarga! Kita sudah berjanji untuk jadi keluarga satu sama lain! Kita sudah berjanji!”
Kemarahan Richard yang tak terduga membuatku terdiam sejenak, lalu perlahan mendekatinya lagi.
Setiap kali aku mendekat, Richard melangkah mundur.
[Kau dan aku sebatang kara, jadi kita akan menjadi keluarga satu sama lain. Bagaimana?]
[Jangan tinggalkan aku. Kau sudah seperti keluargaku. Jadi, tetaplah di sisiku.]
Terlintas ingatan yang sempat terlupa.
‘Ternyata aku sudah melukai dia.’
Ucapan yang dianggap tidak penting itu terlalu tulus untuk anak-anak.
‘Aku pikir itu hanya ucapan yang dikatakan oleh anak kecil…’
Richard, yang mempunyai trauma, jelas berpikir bahwa dia mempunyai keluarga setelah menangkapku.
“Aku tidak membuangmu.”
“Bohong.”
“Aku dan… keluargamu juga tidak membuangmu.”
Aku meraih kedua tangan Richard dengan hati-hati.
“Richard, besok kau tidak pergi sendirian, kau akan pergi bersamaku.”
“… Bersama?”
“Iya.”
“Kita pergi bersama, lalu kau membuangku dan kembali sendirian? Kalau begitu, aku tidak mau.”
Anak ini, benar-benar tajam.
“…”
Aku berpikir seperti itu, tapi…
Saat aku tidak memberikan jawaban, air mata mulai kembali menggenang di mata Richard.
“Bembem, rupanya kau membuangku…”
Aku spontan menggeleng, melihat tampilan jelas anak itu seperti anak anjing yang akan terkulai lemas.
“…Tidak?”
“Iya…”
“Kita akan selalu bersama meski aku sudah menemukan keluargaku?”
“… Iya, sampai kau bisa adaptasi.”
Tentunya, itu mungkin terjadi tergantung sampai mana aku bisa meyakinkan Duke Colin.
“Jika aku tidak bisa beradaptasi seumur hidup…?”
“Hm…”
“Jadi, kau akan bersamaku seumur hidup?”
“Mungkin…”
Apa boleh seperti itu?
“Sungguh?”
Mata Richard berbinar-binar, seolah-olah tidak pernah terkulai sebelumnya.
“Iya…”
“Janji?”
“Iya…”
Apa aku berhalusinasi, aku seperti telah terperangkap?
Kreeek.
Pintu terbuka tepat pada waktunya, dan terdengar suara dari belakang punggungku.
“Nyonya, apa Anda sudah selesai berbicara?”
<Bersambung>