I'm Being Raised by Villains [Bahasa Indonesia] - Chapter 19
[Unedited]
Credit: Gourmet Scans
TL by: CY
Posted by: Genoise
<Chapter 19>
“…Ini tidak mungkin.”
Apa ini?
Humanisasiku tiba-tiba luntur di sini?
‘Pertama-tama, aku harus kembali ke wujud semula.’
Aku buru-buru mencoba berubah kembali ke wujud manusia.
Tapi, masalahnya…
‘Bagaimana ini?’
Aku tidak ingat bagaimana caranya melunturkan humanisasi ataupun menumbuhkan humanisasi atas keinginanku sendiri.
Sekelilingku menjadi gelap gulita.
Aku berjuang untuk keluar dari kegelapan, bagaimanapun caranya.
Saat aku susah payah keluar dari sesuatu yang kuanggap pakaianku, boneka harimau yang menjadi jauh lebih besar ada di sebelahku.
‘Boneka harimau jadi sebesar ini?’
Tidak, itu karena aku yang menjadi sekecil ini.
Saat aku menyadari kenyataan ini, orang-orang di sekitar juga mulai berisik membicarakan apa yang sedang terjadi.
“Kyaaa! Dia hewan antropomorfik*!”
(*Karakter manusia yang digambarkan sebagai makhluk bukan manusia)
“Berani-beraninya, mau ke mana kau, hewan antropomorfik kotor…!”
“Dasar reptil antropomorfik, kau lebih rendah dari level terendah…”
Hm, omong-omong, rencanaku sedikit berantakan?
Hm, tidak. Sedikit banyak berantakan.
Rencananya cukup melenceng.
‘Pertama-tama…’
Apa aku harus melompat?
Hop.
Duk duk duk.
Aku berbalik dan menghentakkan keempat kakiku dengan nekat.
Duk duk duk duk.
Bunyi kaki kecil yang menginjak marmer terdengar cukup keras, mungkin karena ruang rapat diliputi keheningan sesaat.
“Tangkap!”
Saat aku akan kabur dari ruang rapat, para prajurit dan pengikut bangkit dan mulai mengejarku.
“Ayo, tangkap!”
“A-aku takut ular!”
Aku ini kadal, bukan ular!
“Kyaaa!”
Mereka menghentak-hentakkan kaki tanpa ampun.
‘Kalau begini, aku bisa terinjak!’
Krek~
“Kiiik…”
Seperti yang kuduga, ekorku diinjak.
Suara aneh keluar, entah itu jeritan atau apa.
Air mata fisiologis menyembur keluar.
“Tertangkap!”
Badanku spontan menggeliat, lalu ekorku putus.
‘Ah, aku baru ingat. Kadal bisa memutuskan ekornya, kan.’
Rasa sakit sedikit berkurang saat ekorku lepas.
Drap drap drap drap.
Aku segera merayap naik ke dinding. Aku melihat ke bawah dan terlihat orang-orang mengelilingiku.
Aku kehabisan napas meski sudah berubah menjadi kadal. Terlihat Erno Etam di kejauhan.
‘Dia pasti kecewa.’
Seperti yang kuduga, dia melihatku dengan muka yang tegang, lalu melangkah pelan-pelan ke arahku.
Orang-orang berhamburan saat ia mendekat, seolah terjadi keajaiban Musa.
Erno Etam mendekatiku, lalu mengulurkan tangannya perlahan kepadaku.
“… Kemarilah.”
Aku menghindari tangan yang terulur padaku, lalu buru-buru kabur ke belakang.
‘Rasanya sakit dan menyedihkan.’
Boneka harimau yang menggelinding di lantai sudah terinjak-injak orang dan berbentuk tidak karuan.
‘… Itu adalah hadiah yang kuterima seumur hidupku.’
Air mataku menetes melihat boneka harimau yang kotor karena terinjak-injak.
‘Kadal juga bisa menangis, ya?’
Jawaban atas pikiran sepele itu segera terselesaikan.
Tik tik tik.
Air mata yang menetes itu membasahi telapak tangan Erno Etam.
“Kau…”
Uluran tangan Erno Etam sedikit lebih dekat ke arahku.
‘Aku tidak mau mati.’
Aku menutup mata rapat-rapat.
‘Tolong, keluarkan aku dari sini, ke mana saja tidak masalah.’
Seketika di depanku berkilat putih.
Saat aku membuka mata kembali, aku tidak lagi berada di keluarga Etam.
***
Anak itu tiba-tiba menghilang bersamaan dengan pancaran cahaya putih bersih.
Sekitarnya menjadi gaduh melihat anak itu menghilang entah ke mana seperti teleportasi.
“Ke mana perginya…”
“Kita harus segera menemukannya. Kita tidak boleh membiarkan makhluk seperti itu berkeliaran di keluarga Etam…”
“… Ya, kan?”
Seseorang bertanya balik dengan curiga karena gumaman kecil itu.
“Maksudmu?”
Srek.
Tatapannya yang dingin tertuju pada Myla, bersamaan dengan suara yang menakutkan.
Salah satu tangannya jatuh menggelinding ke lantai.
Erno Etam keluar dari kerumunan tanpa ketahuan, dam berada di depan Myla yang berdiri tepat di sebelah Duke Mirel.
Bahkan pedangnya meneteskan darah.
Pedangnya melengkung dengan kecepatan yang tidak disadari oleh siapa pun.
“Aaargh!”
Myla baru menyadari salah satu sisi lengannya menjadi ringan, lalu dia berteriak sambil terengah-engah.
“Putriku menangis.”
“Pa-Pangeran Erno! Di-dia bukan putri Anda…”
“Aku sudah bilang, anak itu adalah putriku…”
Mata emasnya, yang kehilangan fokus, menatap Myla.
“Kau perlu lebih banyak alasan lagi?”
Dia menggerakkan pedangnya.
“Katakan, di mana dia.”
Suara menakutkan terdengar lagi dan lagi.
Baru setelah Myla berhenti bergerak, iblis yang berlumuran darah itu perlahan menoleh.
Tatapannya tertuju pada para pengikut yang mengelilingi Ayrin.
“Berisik sekali, apa ada yang mau kau bicarakan lagi?”
Dia menghela napas pendek, lalu mengambil satu langkah. Seketika dia sudah ada di depan para pengikut.
Pedangnya bergerak sekali lagi.
“Sudah kubilang, putriku menangis.”
Begitu dia selesai bicara dengan begitu menakutkan, pria yang menginjak ekor Ayrin jatuh ke lantai.
“Aaargh!”
Semua orang berteriak, lalu menutup mulut dan mulai mundur perlahan.
“Aku sengaja mendekat dengan hati-hati, takut membuat putriku terkejut.”
“Erno Etam, kau sudah terlalu jauh. Berhentilah.”
Duke Mirel tidak dapat menghadapi situasi ini lagi, lalu dia bangkit dari kursi dan membuka mulutnya.
“Ah… rupanya mania sudah dimulai. Terlihat dari pedangku yang tidak terkendali.”
Erno Etam bergumam pelan, lalu mengayunkan pedangnya dengan ringan ke udara.
Ujung pedangnya meluncur tepat di depan mata Duke Mirel.
“Jika saja sejak awal Anda tidak melakukan ini… Ck.”
Dia berbalik.
“Aku akan meninggalkan rumah untuk sementara. Ketahuilah itu.”
“Kau mau pergi ke mana?! Dasar tidak punya otak! Bagaimana jika maniamu muncul saat berada di luar…?!”
“Semua ini karena Ketua.”
“Meskipun sejak awal aku tidak mengadopsinya sebagai anak angkat, bukankah dia dimanfaatkan untuk mengubahku?! Selain itu, yang disebut sebagai reptil antropomorfik itu… kemungkinan dia sangat tipis mewarisi darah keluarga Etam!”
Pedang Erno Etam terhunus tepat ke arah ubun-ubun Duke Mirel.
Duke Mirel memindahkan pulpen yang digenggamnya, lalu mengubah arah pedang itu dengan mudah.
Brak~!
Dinding berlubang besar.
“Itu adalah hal yang sudah kuputuskan dan aku hanya berpikir untuk tidak mengadopsinya sebagai anak angkat.”
Duke Mirel berkata dingin.
“Tapi, Anda membuatku marah dengan cara seperti ini.”
Erno Etam bergumam pelan.
“Cepat kembali! Apa kau tidak tahu bahwa tubuhmu ada batasnya?!”
“Kalau begitu, sebaiknya Anda kembalikan putriku ke hadapanku sebelum aku lepas kendali. Aku percaya Anda tahu koordinat komunikasinya.”
Erno Etam meninggalkan tempatnya.
“Hei, hei…! Dasar anak kurang ajar, tidak pernah berubah…!”
Duke Mirel memukul meja bundar dengan keras. Meja bundar itu terbelah menjadi dua dan roboh lagi.
“… Kali ini Anda sedikit berlebihan.”
Kata Kairon, sang pelayan, yang mendekat dari belakang.
“Kau bahkan mau melawanku?!”
“Apakah Anda tidak tahu bahwa pelayan itu adalah kaki tangan bulan purnama?”
“Aku hanya ingin memastikannya dari mulutnya sendiri!”
“Di mata seorang anak, itu terlihat seperti ancaman. Semangat yang dipancarkan Tuan terkadang membuatku merinding sampai ke tulang.”
“Omong kosong!”
“Tapi, apa Anda akan mencarinya?”
“… Aku tidak tahu.”
“Baik, saya akan menggerakkan ‘terem’.”
“Aku sudah bilang, aku tidak tahu.”
Duke Mirel melangkah dan meinggalkan ruang rapat. Kairon menghela napas pendek melihat ruang rapat yang berantakan.
***
“Apa ini? Kadal dan… boneka?”
Seorang anak laki-laki berwajah tampan memiringkan kepalanya. Rambutnya yang panjang terurai.
Warna rambut ungu yang terurai itu, semakin ke ujung semakin memudar. Mata anak laki-laki itu membelalak senang.
Sebuah anting-anting perak berbentuk tongkat menjuntai dari telinga kanan anak laki-laki itu.
“Di mana kau meninggalkan ekormu? Dasar kadal bodoh.”
Anak laki-laki itu mengulurkan tangan, lalu mengangkat kadal kecil itu dengan ringan.
Tubuhnya dingin. Anak laki-laki itu mengambil sapu tangan usang dari dadanya dan melilitkannya ke kadal.
“Kebetulan aku butuh hewan peliharaan, apa aku pelihara ini saja?”
Walaupun kelihatannya ini tidak seperti hewan peliharaan.
“Aku menyukaimu. Kau tidak punya ekor, sedangkan aku tidak punya orang tua. Kita cukup mirip.”
Anak laki-laki itu menuruni bukit sambil memegang kadal yang sudah dingin.
‘Panti Asuhan Waktu Bertunas.”
Tulisan itu terukir dengan jelas di papan depan bangunan, yang terlihat baik dan berwarna-warni, yang dimasuki anak laki-laki itu.
<Bersambung>