I'm Being Raised by Villains [Bahasa Indonesia] - Chapter 16
[Unedited]
Credit: Gourmet Scans
TL by: CY
Posted by: Genoise
<Chapter 16>
Erno Etam berbicara dengan lembut pada semuanya. Bahkan dia juga tertawa saat ada yang menyinggungnya.
Tawa adalah simbol dari Erno Etam.
Dia tidak ramah pada semua orang, tapi jika tidak bermusuhan, dia adalah orang yang adil dan menjaga jarak serta nada bicara yang sama.
Sama halnya dengan orang yang ramah pada siapa saja sehingga tidak menganggap istimewa satu orang pun.
Tapi, Erno Etam mengeluarkan sifat aslinya di hadapan kedua putranya.
Dia menunjukkan wajah tanpa ekspresi kepada kedua putranya dan tidak banyak tertawa.
Aku tahu gambaran itu nyata karena telah membaca novel itu hingga bosan.
Aku menjulurkan kepala di antara celah pintu.
‘Aku sudah tahu, akan jadi seperti ini.’
Wajar jika tokoh utama perempuan dan orang terkuat di dunia bertemu seperti ini.
‘Aku bisa segera melihat aksi tokoh utama perempuan, kan?’
Tetap saja, melihat mereka berdua bersama di kehidupan nyata membuatku merasa sedikit aneh.
Aku berdiri di depan pintu dan menggaruk pipi sambil mempertimbangkan, apakah aku harus kembali atau tidak.
“Hmmm.”
Setelah berpikir lama, akhirnya aku membalikkan langkahku perlahan.
Aku pikir, ini bukanlah tempat untukku.
“Putriku, kenapa kau tidak masuk?”
Jika bukan karena suara yang menemukanku, aku pasti sudah kembali ke kamar dan mengemasi barang-barnag.
“Eh, Ayah…, kayaknya Ayah sibuk.”
“Tidak, aku tidak sibuk sama sekali. Ayo masuk.”
Dia membuka pintu dan keluar dengan suara yang ramah, lalu mengulurkan kedua tangannya padaku.
Suaranya memang ramah, tapi tidak tulus. Aku tahu sebanyak itu.
“Apa Ayah dimalahi kakek?”
“Aku?”
Dia tersenyum kecil seolah tidak mendengar hal yang lucu.
“Entahlah… Rupanya kau tahu, Ketua akan segera mendatangiku.”
Dia tersenyum. Dengan wajah lelaki nakal.
“Apa?”
“3, 2, 1. Lihatlah ke belakang.”
“Erno Etam! B*j*ng*n sialan ini belum puas ya…! Apa kau tahu, apa yang telah kau lakukan?! Orang-orang bilang kau seorang yang idealis, tapi kau berpengaruh buruk…!”
Begitu menyelesaikan perkataannya dengan mengerikan, Duke Mirel muncul sambil menghunuskan pedang.
Wajahnnya yang merah padam benar-benar membuatku ketakutan, seperti melihat setan yang baru saja merangkak keluar dari neraka.
Pedang yang dipegang oleh satu tangannya itu bergetar karena kemurkaannya. Aku merasakan panas dari pedang yang memancarkan api merah itu.
‘Itu pusaka naga.’
Disebutkan bahwa pedang itu dibuat dengan mencampurkan tulang dan sisik naga dengan mithril, yang konon hanya ada di ujung dunia, dan dipanaskan dalam api lava.
Menurut Novel <Diadopsi>, keluarga Etam mempunya 3 pusaka naga.
Salah satunya adalah pedang yang disebut ‘garam api’, yang terlahir dari api dan tidak dapat dicairkan atau digores oleh api apapun.
“Ketua, tolong sembunyikan situasi ini. Bukankah itu terdengar kasar untuk putriku.”
“Kau bilang, putrimu…”
Tatapan Duke Mirel langsung mengarah padaku yang ada di pelukan Erno Etam.
Lalu, dia menatap tokoh utama perempuan yang ada di bawahnya.
“Anda bertindak seperti orang tua di depan anak-anak. Jika tidak… apa perlu kubelikan satu kacamata?”
“Kau memang b*j*ng*n di dunia ini yang selalu membuat masalah di mana saja dan mencoreng mukaku…!”
“Astaga! Apa wajah Anda bisa dicat?”
Erno Etam menjawab sambil tersenyum angkuh.
“Berani-beraninya kau mengalihkan tambang keluarga menjadi atas nama pribadi? Apa kau punya otak? Tidak!”
“Aku tahu gigi Anda sudah tanggal berjalannya waktu, tapi berbicaralah yang benar, Ketua. Aku hanya mengambil bagianku.”
“Apa katamu?”
“Bukankah sebelumnya Anda sudah memutuskan untuk memberikannya padaku? Apa Anda tidak ingat?”
“Jangan bicara omong kosong! Kapan aku memutuskan untuk memberikan harta keluarga padamu?!”
Wajah Erno Etam menjadi lebih angkuh. Tampaknya dia sedang dalam suasana hati yang sangat buruk sekarang.
“Anda melakukannya.”
“Kapan aku melakukannya?”
Desahan pendek keluar dari antara bibir Erno Etam.
“Jelas-jelas Anda berkata seperti ini. ‘Jika kau menjalani kehidupan yang menyedihkan dan tak berharga di masa depan, ketahuilah bahwa satu-satunya warisan yang akan kau miliki setelah aku mati adalah gunung di sana.’ Begitulah Anda mengatakannya dengan jelas.”
Seolah tidak ada satu kata pun yang salah, membuat Duke Mirel pucat seolah ada sesuatu yang terlintas dalam pikirannya.
“Bukankah waktu itu kau menolaknya…?!”
“Setelah dipikir-pikir, aku akan menjalani kehidupan seperti itu di masa depan… Jadi, aku putuskan untuk menerimanya.”
Erno Etam tertawa.
Dia menertawakan Duke Mirel karena seperti raja yang plin-plan.
Senyum penuh kegembiraan tergambar di bibirnya.
“Apa otakmu kopong? Jangan bicara omong kosong seperti anjing gila, cepat kembalikan!”
Erno Etam tersenyum indah menganggapi kemarahan Duke Mirel, lalu membuka mulutnya.
“Guk guk.”
Melihat pemandangan itu, Duke Mirel mencengkeram belakang lehernya.
“Dasar, b*j*ng*n ini…!”
“Anda pergi saja, Ketua. Ada yang mau kubicarakan dengan putriku.”
Begitu selesai berbicara, Erno Etam menjentikkan jarinya dengan ringan.
Situasi menjadi lega.
Jarak antara kami dan Duke Mirel semakin jauh dalam sekejap seolah ruangan menjadi lebih panjang, dan Duke Mirel menghilang di depan mata kami.
Brak!
Terdengar suara gemuruh dari luar, tapi pintu tidak bergerak dan Erno Etam merasa damai.
“Sekarang anjing yang berisik itu sudah kembali ke kandangnya.”
Erno Etam bicara seperti biasa, lalu duduk di ranjang dan memangkuku di atas lututnya.
Sekeliling diselimuti keheningan. Saat aku merenung apa yang harus kulakukan, seseorang muncul di depan mataku.
“Halo?”
Seorang gadis yang tersenyum cerah mencondongkan wajahnya.
Tokoh utama perempuan.
‘Wah…’
Aku menahan napas karena tegang. Dia sangat imut dan cantik sehingga siapa pun akan mengira dia menyenangkan.
Kulitnya putih dan pipinya tembem seolah-olah dia tumbuh dengan baik. Tidak ada satu pun bayangan ditemukan di wajahnya yang memerah.
“Ya, halo.”
“Namaku Sharne. Umurku 8 tahun.”
Tokoh utama perempuan akan bahagia di sini, kan? Seperti yang ada di novel.
Aku iri.
Aku menggeleng pada pikiran sesaatku.
‘Tidak, aku hanya perlu makan dan hidup dengan baik.’
Tabunganku banyak, jadi tidak perlu ragu-ragu.
Yang tersisa sekarang adalah penjelasan dari Erno Etam.
Dia tersenyum lalu mengangguk begitu melihat Erno Etam. Karena dia telah memberi izin, jadi aku membalasnya.
“Aku Ayrin, Umur 5 tahun.”
“Lima? Kalau begitu, aku seorang kakak.”
“Hmm…”
Kalau diukur dari usia, memang seharusnya seperti itu. Tapi…
Usia mental saya sedikit…
“Kakak!”
“…”
Tokoh utama perempuan memandangku dengan mata yang berbinar-binar.
“Aku kakak, kan?”
“…”
Sepertinya aku tahu apa yang ia ingingkan.
“Apa?”
“…”
Meski aku menghindari tatapannya, tapi matanya yang berbinar-binar tidak lepas ke arahku.
“Ka-kakak…?”
Aku membuka mulut sekuat tenaga meski tidak tahu harus berkata apa.
Dan di saat itulah.
“Kyaaa!”
Tokoh utama perempuan memelukku dengan erat.
‘… Eh?’
Tubuhku tidak berguncang keras karena sedang dipangku Erno Etam, tapi aku sedikit terkejut.
“Aku sudah lama ingin punya adik perempuan…!”
“Apa…?”
Tokoh utama perempuan terus memelukku erat dengan mata yang berbinar-binar.
‘Apa maksudnya?’
Bukankah saat ini tokoh perempuan masih terjebak dalam kesedihan?
Seingatku, dia diceritakan mengalami depresi sesaat tak lama setelah ibunya meninggal.
“Wah, lembut.”
Melihat tokoh utama perempuan itu tersenyum cerah dan menyentuh pipiku, akhirnya ujung bibirku bisa lebih rileks.
Lebih baik begini daripada bersedih.
Aku menyukai tokoh utama perempuan.
Meski hanya sebuah ketikan, tapi aku menyukai tokoh utama perempuan yang hidup di dunia yang berbeda sama sekali denganku, menderita kesedihan yang sama sekali berbeda denganku, hidup dengan ceria dan percaya diri, serta dicintai oleh semua orang.
Awalnya, aku hanya membaca judul (Aku Pikir Aku Diadopsi, Tapi Bisa Saja Itu Cuma Salah Paham) dan masuk ke dalamnya.
Aku pikir, itu terjadi karena mirip dengan hidupku yang seperti anak itik buruk rupa dan diperlakukan tidak adil hanya karena terlahir sebagai anak perempuan.
Kebanyakan novel fantasi adalah novel yang diawali dengan perasaan ingin mencoba menghibur diri sendiri karena berakhir dengan bahagia.
“Adik perempuan terbaik…, kenapa kakek tidak menceritakan bahwa aku punya adik perempuan? Jika beliau bilang ada kau, aku tidak akan bimbang. Kau benar-benar menggemaskan.”
Aku kehilangan kata-kata, melihat tokoh utama perempuan menghujaniku dengan pujian tanpa rasa malu.
Sungguh tidak terlihat gelap sedikit pun.
Tokoh utama perempuan di novel <Diadopsi> adalah tokoh yang selalu mencari seberkas cahaya di dalam kegelapan.
Dia pasti menemukan kelebihan di dalam banyaknya kekurangan.
‘Tokoh utama perempuan tidak berbeda.’
Aku terdiam sesaat melihat tokoh utama perempuan yang selalu aktif dan aku kagumi bergerak di depan mataku.
‘Apa ini kesempatan untuk memahami langsung novel aslinya?’
Meski aku tetap pergi saat Erno Etam sudah bosan tapi aku bisa melihat cerita aslinya sampai itu terjadi, kan?
Erno Etam, yang kasar, dingin, dan hanya memanfaatkan tokoh utama perempuan saat butuh saja, mulai berubah secara bertahap. Dia mau makan dengan tokoh utama perempuan dan membawakannya hadiah!
‘Tentu saja dia tidak mungkin jadi ayah yang sangat menyanyangi putrinya sampai akhir seperti di novel lainnya…..’
Sebenarnya, itu adalah perkembangan karakter yang mengecewakan untukku, yang sebenarnya mengharapkan hal itu.
Saat kisah novel <Diadopsi> berkembang, banyak tokoh utama dan tokoh pendukung mendeklamasikan makna cinta yang saling berbeda kepada tokoh utama perempuan.
Tapi, Erno Etam tidak pernah berkata bahwa ia mencintai tokoh utama perempuan sampai akhir cerita.
“Apa kau benar putri dari pamanku?”
“Iya.”
Aku menjawabnya sambil melirik Erno Etam.
Untungnya, Erno Etam duduk diam dan menyentuh pipiku seperti biasa.
Aku ingin menjadi seperti tokoh utama perempuan sesekali. Aku juga pernah ingin bergerak dan berusaha seperti tokoh utama perempuan.
Karena aku pikir, keluarga akan mencintaiku jika aku seperti itu.
Tapi, semua yang aku impikan hanya khayalan di atas ketikan dan aku bukanlah tokoh utama perempuan.
Aku tiba-tiba ingin membuat hubungan antara tokoh utama perempuan dan Erno Etam menjadi sedikit lebih dekat.
Aku ingin melampaui novel aslinya.
Dengan begitu, tokoh utama perempuan akan jauh lebih bahagia daripada di novel.
“Ayah, aku pelgi sekalang, ya!”
Saat aku melompat dari pangkuannya setelah terlintas rencana yang tiba-tiba itu,kening Erno Etam berkerut.
“Ke mana?”
“Ke kamal (kamar).”
“Kau sudah mau kembali ke kamarmu?”
“Iya!”
Dia diam sebentar. Aku membungkuk dan berlari kecil ke arah pintu.
“Putriku.”
“Ya?”
“Kemarin aku tidak bisa makan bersamamu. Apa kau makan dengan baik?”
Langkahku terhenti saat hendak meninggalkan pintu. Aku berbalik dan menatapnya sambil tersenyum.
“Iya! Makanannya enak!”
Aku punya alasan untuk tinggal lebih lama di rumah ini karena aku sudah punya tujuan.
‘Paling lama setengah tahun, tapi…’
Aku harus menjadi anak yang tidak merepotkan sampat saat itu.
“…Benarkah?”
“Iya!”
Sayangnya, aku tidak menyadari bahwa ujung bibir Erno Etam, yang selalu tersenyum seperti lukisan, turun sedikit.
<Bersambung>