I'm Being Raised by Villains [Bahasa Indonesia] - Chapter 12
<Chapter 12>
Aku membeku dengan mata terbuka lebar dalam situasi yang tak terbayangkan ini.
Aku terjatuh ke bawah kakinya dan boneka harimau yang kupegang menggelinding.
<Mania yang dialami Erno Etam terkadang muncul meskipun ia sedang memakai aksesori penahan kekuatan magis.
Belum lama ini, ketika sedang makan bersama di rumah kaca, dia mengalami mania sehingga menjadi gila dan membunuh puluhan orang. Barulah setelah itu, dia kembali tenang.
Setelah hari itu, dia ditahan untuk sementara waktu dan dijuluki sebagai ‘monster keluarga Etam’.>
Mataku terbelalak pada sebuah adegan di novel yang tiba-tiba muncul di kepalaku.
‘Ternyata adegan itu terjadi hari ini.’
Aku sama sekali tidak memperhatikannya karena setiap hari makan bersama dia di rumah kaca.
‘Tidak boleh…’
Sejak kejadian itu, Erno Etam benar-benar menutup pintu hatinya kecuali pada dua bersaudara yang merupakan putranya.
Tapi, kenapa novel ini fokus pada keberuntungan tokoh utama wanita?
Erno Etam juga berubah sedikit demi sedikit karena kemampuan menenangkan mania yang dimiliki tokoh utama wanita.
Tentu saja, meski dia digambarkan seolah-olah dekat karena dia hanya memanfaatkan tokoh utama wanita…
Sekalipun ada yang diinginkan oleh tokoh utama wanita, Erno Etam akan memberikan semuanya.
Setelah ini, Duke Mirel pasti akan membawa tokoh utama wanita dan semuanya akan mengalir seperti alur novel.
‘Tapi…’
Dia terlihat sangat kesakitan.
“Hei, tidak ada yang bisa menghentikannya kalau mania itu sudah mulai. Selama Ayah menahannya, ayo kita keluar seperti yang Ayah katakan.” Setelah berbicara dengan Shillian, Callan berlari, lalu meraih tanganku dan berkata begitu.
Saat Callan menarik tanganku, aku tidak bisa melangkah begitu saja.
Boneka harimau yang tergeletak di lantai terlihat seperti sedang menangis.
‘Boneka itu memang bukan Erno Etam sungguhan, tapi…’
Tapi, aku mau menyelamatkannya.
Karena aku lebih tahu dari siapapun bagaimana sedihnya diabaikan di saat paling sulit.
‘Apa yang harus kulakukan?’
Aku segera memutar otak.
‘Ah, kalau begitu…’
Segera aku mengingat sesuatu lalu kukepalkan tanganku.
Pada akhir novel aslinya, muncul obat untuk menenangkan mania.
Itu bukanlah obat yang ditemukan oleh tokoh utama wanita. Sebenarnya, itu adalah tanaman yang nantinya akan ditemukan oleh Callan Etam.
Sejak kejadian hari ini, Callan terus mengembangkan obat penenang, dan tanaman obat yang ditemukannya menjadi bahan utama obat tersebut.
Tapi, jika tanaman obat itu dimakan mentah-mentah atau dimakan dalam jangka waktu yang lama, akan menimbulkan efek samping…
Sekarang bukan waktunya untuk memperhitungkan hal itu.
“Kakak… Aku tydak akan meninggalkan Ayah!”
Aku menarik tanganku yang tadi dipegang Callan dengan susah payah, lalu berlari ke dalam hutan yang berada di dalam rumah kaca.
“Hei, kau mau ke mana? Kau sudah gila?!”
Aku mendengar Callan Etam memanggilku, tapi aku tetap berlari sekuat tenaga.
‘Kalau Ayah habis kejadian ini kena tahan…’
Aku menutup mata kuat-kuat.
“Uangku bisa terbang!!”
Itu imbalanku!
Investasi untuk masa depan yang bahagia dan menyenangkan!
…Dan terlalu cepat untukku terbangun dari mimpiku.
… Aku tidak suka.
<“Sial, kita benar-benar bodoh. Aku tidak menyangka tanamannya ada sedekat ini.”
“Benar. Sudah kuduga ada di dalam rumah kaca Ayah…”
“Tanaman ini berbuah merah sepanjang tahun, kan? Cuaca di sini selalu seperti awal musim panas. Apa Ibu sudah tahu tentang ini?”
“Entahlah… Ini adalah tanaman yang tumbuh di tempat paling hangat dan diselimuti oleh bayangan paling besar. Mungkin ini adalah hadiah yang diberikan Ibu kepada kita, makanya kita dikirim ke sini.”>
Meski kehabisan napas, aku memutar otak dan menelusuri ingatanku.
Lalu, aku teringat adegan saat Callan Etam, yang baru saja berhasil mengembangkan obat, berbicara dengan Shillian Etam.
Ada cukup informasi.
‘Tempat paling hangat, diselimuti oleh bayangan yang sangat besar, buah merah…”
Akhirnya aku menemukan pohon itu begitu masuk ke rumah kaca yang luas.
Buah merah kecil seukuran jari kelingking dan sudah pecah karena matang dan terletak di tempat teduh di bawah pohon zelkova yang sangat besar…
Masalahnya adalah banyak sekali duri di bunganya.
Pasti sakit jika terkena tangan, tapi menyelamatkan manusia lebih penting dari itu.
Aku tidak suka rasa sakit, makanya aku memetik buahnya saja dengan hati-hati.
Aku mengibas-ngibaskan kantong berisi perhiasan yang kubawa jika-jika menghadapi kondisi darurat.
‘Sayang, sih…’
Tapi, nanti aku bisa memungutnya lagi.
Aku mengumpulkan permata di satu sisi, dan memenuhi kantong itu dengan buah.
Aku bangkit dari tempatku setelah mengumpulkan buah di kedua kepalan tanganku.
Meski hanya memetik buahnya, aku tidak bisa terhindar dari tertusuk duri sehingga beberapa tetes darahku bercampur dengan buah itu. Tapi, itu terlalu tidak kelihatan.
Aku segera kembali ke tempat semula. Berbeda dengan hatiku yang terburu-buru, kakiku selalu tersandung sehingga beberapa kali jatuh ke lantai.
“Grrr…”
“Ugh, to-tolong aku… tolong…”
Saat aku sampai, meja makan terguling di lantai dan seorang pelayan yang lehernya tercekik sedang meronta-ronta dan menangis.
Dia seperti binatang buas yang seolah-olah sudah kehilangan nalarnya. Dia bukan Erno Etam yang selalu tenang.
Glek, aku takut.
Aku segera berlari ke arahnya dan memegang ujung celananya.
“A-ayah…”
Aku memanggilnya sambil memukul-mukul kakinya.
Tatapan matanya, yang sudah berubah menjadi merah seketika mengarah padaku saat ia merasakan sensasi gatal dari pukulan yang kuberikan.
Erno Etam menyipitkan matanya, menyeringai seolah mendapatkan mangsa baru, lalu melempar pelayan itu ke lantai.
“Hiks!”
Pelayan yang sudah lepas itu merangkak di lantai untuk menjauh. Kali ini tangan Erno Etam mengarah padaku.
“Hei! Kau, ke mana saja dari tadi…?”
Callan Etam muncul dari dalam semak-semak dan bercucuran keringat seolah-olah sudah lama mencariku.
“Ayah!”
Aku menoleh ke arah Callan Etam. Saat itu, kakiku sudah melayang di udara.
Erno Etam menangkap tengkuk leherku. Rasanya seperti tergantung di udara.
Saat dia mencoba mencekikku dengan tangannya yang lain, aku segera menerbangkan badanku ke arah wajahnya.
Seperti jangkrik yang menempel di pohon tua.
Saat dia menjadi ragu dan tidak memperkirakannya.
‘Sekarang.’
Aku memasukkan buah yang ada di tanganku ke dalam mulut Erno Etam.
Buah yang sudah hancur itu memenuhi mulutnya.
‘Sedikit tercampur darahku, tapi akan baik-baik saja.’
Aku menutup mulutnya dengan kedua tanganku, takut ia akan memuntahkan buah itu.
Saat aku mati-matian tergantung dan menutup mulutnya, dia melambaikan tangannya ke udara untuk melepaskanku, dan pada akhirnya dia kehilangan keseimbangan dan jatuh ke belakang.
Dia terduduk di lantai dan berhenti bergerak.
‘Apa berhasil?’
Aku buru-buru menggerakkan tanganku untuk mengeluarkan buah yang baru.
Karena satu tanganku yang kecil tidak cukup, buah itu jatuh berhamburan ke lantai.
“Ah, tidak…”
Tubuhku bergetar ketakutan. Ujung jariku yang sudah kotor dan ada goresan kecil mengarah ke lantai.
Deg deg.
Keganasannya telah menghancurkanku.
Aku takut pada orang yang sedang marah. Semua anggota keluargaku dulu marah saat melihatku. Aku sempat berpikir bahwa aku telah melakukan kesalahan.
‘Tidak apa-apa. Di sini bukan rumah itu.’
Aku berusaha mengenyahkan ingatan yang mengganggu itu dan memungut buah yang terjatuh di lantai.
Ada tangan yang menjulur.
“Kau perlu ini?”
Itu adalah Callan Etam.
Aku tak bisa menjawabnya dan mengangguk, lalu dia memungut buah yang jatuh di lantai dan meletakkannya di tanganku yang gemetaran.
Aku akan memasukkan buah itu lagi ke dalam mulut Erno Etam.
Tapi, sebuah tangan yang sangat besar menjulur dan menggenggam punggung tanganku yang gemetaran dengan hati-hati.
Itu adalah tangan milik Erno Etam.
Mataku terbuka lebar. Mata merahnya sudah kembali ke keadaan semula.
“Ayah…?”
“…Iya. Sepertinya kau terluka, putriku.”
Dia mengerutkan keningmya saat melihat kondisi tanganku.
“Ayah… Jangan malah… Aku takut…”
Lalu, datang rasa takut yang terlambat.
Aku tidak bisa menahan air mata yang menggenang di mataku, aku menangis sambil berkata padanya.
Dia mengangkat tubuhku, lalu memelukku erat-erat.
‘…Iya, sekarang baik-baik saja.”
Dia mengelus-elus kepalaku seperti biasanya. Napas pendek bersama dengan air mata yang kutahan meledak dalam tangannya yang besar.
“Huaaa…!”
“Ssst, tenanglah…”
Setelah terisak dan menangis sesaat, aku melemparkan pandanganku ke lantai.
Boneka harimau yang ada di lantai sudah menjadi kotor terkena noda lumpur karena tertendang ke mana-mana.
“Boneka ayahku…”
Aku menjulurkan tangan untuk memungut boneka itu, tapi badanku tidak mendengarkan perkataanku.
‘Aku juga harus membawa permata-permata yang tumpah tadi…’
Aku mengantuk karena ketegangan sudah berakhir.
Aku menggeleng-gelengkan kepala untuk menghilangkan rasa kantuk, tapi pada akhirnya aku tidak bisa mengalahkan rasa kantuk yang terus menghampiri…
Dan penglihatanku seketika menjadi gelap.
<Bersambung>