I'm Being Raised by Villains [Bahasa Indonesia] - Chapter 115
[Unedited]
Credit: Gourmet Scans
Raw by: Vanilla
TL by: CY
Posted by: Genoise
<Chapter 115>
“Nenek sudah menyuruh untuk melepaskan alat bantu!”
“Cha Miso, kau sudah mati!”
Sekeliling ribut.
Aku sangat kesal karena tangan kasar yang mengguncang tubuhku.
Aku tidak ingin membuka mata, tapi aku tahu bahwa aku harus membukanya.
Sepertinya kekacauan ini tidak akan berakhir kecuali jika nenek yang sama sekali tidak menyayangiku membunuhku atau aku tidak membuka mata.
“Kau juga lucu. Alangkah baiknya jika kau yang langsung melepas alat bantu begitu aku menyuruhmu untuk melepasnya! Apa kau kira uang akan muncul dengan menggali tanah?”
“Ibu, bagaimana kau bertindak seperti itu pada anak yang belum mati…?”
“Ah, ucapan Ibu benar, Nek. Apa yang Kak Miso lakukan…”
Sebuah suara asing namun familier meremehkanku.
Orang-orang yang selalu meninggikan suaranya padaku. Mereka menaikkan suara, mengumpat, dan mengabaikanku seolah aku tidak pernah ada.
“Memangnya apa yang ia lakukan?! Kau sebagai orang tua, bagaimana kau mendidik mereka sehingga terobsesi pada mereka seperti ini?!”
Suara nenek meninggi.
“Apa kau mengancamku dengan berniat menyelamatkan anakmu?”
“Ibu, mana mungkin saya…”
“Lantas, kenapa kau bertanya apa masalahnya? Dasar anak-anak sialan.”
Kata nenek.
“Masalahnya karena anak itu lahir di keluarga ini. Kau tahu kan, betapa terhormatnya keluarga ini. Tapi, berani-beraninya dia lahir di keluarga yang terhormat ini…”
Aku tidak sanggup mendengarnya lagi.
Aku merasa mual sehingga membuka mataku yang tertutup.
Untuk sesaat tidak ada yang menyadari bahwa aku sudah sadar. Jadi, aku diam-diam menoleh dan melihat dua punggung yang lebar.
Itu adalah punggung kedua adik lak-laki yang aku benci.
Dan di balik pundaknya, terlihat manula dengan punggung tegap dan sedikit kerutan dibanding usianya. Nenek menoleh ke arahku seolah merasakan tatapanku.
“Kamu!”
Nenek berjalan menerobos kedua adik laki-lakiku lalu berdiri di hadapanku.
Wajahnya yang kencang dan penampilannya dengan memakai Hanbok modifikasi yang tidak nyaman di abad ke-21 menunjukkan kepribadian wanita itu sesuai aslinya.
“Dasar j*l*ng jahat! Orang tua datang, tapi kau terus berbaring seperti anak yang kurang ajar!”
Aku mengerucutkan bibir dan menurunkan pandanganku.
Aku selalu seperti itu.
Berhadapan dengan Nenek membuatku merasa seperti orang tolol yang tidak bisa berpikir dan berbicara dengan benar.
Jantungku berdegup kencang dan napasku sesak jika Nenek membuka mulutnya.
“Cepat bangun!”
Aku berkedip sambil melihat ke udara, lalu bangkit perlahan dan duduk.
Di belakang Nenek, tampak Ibu yang sedikit kurus dari yang kuingat.
Di depanku, ibu selalu seperti gunung besar yang tak tersentuh. Tapi, di depan nenek, ibu adalah orang yang terlihat sangat kecil dan tak berkutik.
‘Apa Ibu memang sekecil itu?’
Dia selalu menjadi orang yang besar dan menakutkan di depanku.
Meski dia tidak memukulku seperti ayah, dia selalu memelototiku dengan mulut tertutup.
Ini aneh. Karena sekarang aku tidak takut sama sekali.
‘Mungkin ini semua juga berkat Ayah.’
Karena Ayah selalu berada di pihakku dan melindungiku, tak peduli apa yang kulakukan atau kesalahan apa yang kuperbuat.
Setelah menerima cinta yang berlimpah, kurasa aku tahu betapa tidak adil dan tidak masuk akalnya dunia di sekitarku.
Bagaimanapun, Ayah adalah penyelematku.
‘Saat itu aku benar-benar ingin mati.’
Sekarang aku hanya ingin kembali ke dunia itu.
“Matamu melirik ke mana? Apa kau gila setelah bangun dari kematian?! Jika kau sudah mati, matilah dengan elok. Kau memalukan dunia karena ditabrak mobil!”
Umpatan Nenek tidak terjadi selama satu atau dua hari saja.
Nenek adalah orang yang berada di ujung patriarki yang keras. Orang dengan cara pikir yang sangat kuno.
Jika pelanggan pertama di restoran adalah seorang perempuan, dia akan berkata bahwa bisnisnya sia-sia seharian di hari itu. Dan jika seorang perempuan berbisnis, dia akan berkata bahwa itu tidak akan membawa keberuntungan.
Dari alasan seperti itulah aku dibenci Nenek.
Katanya, seorang perempuan akan sial atau semacamnya karena dilahirkan lebih dulu.
Jika dipikirkan di masa sekarang, itu sungguh tidak masuk akal.
Jika terjadi hal yang tidak masuk akal karena lahir sebagai perempuan, dia tidak akan bisa bekerja.
Jika seorang wanita masuk dan perdagangan menjadi sia-sia seharian, pada akhirnya tidak mungkin terjadi bisnis.
Hanya butuh alasan yang masuk akal atas kegagalan seseorang. Terkadang itu adalah perempuan, terkadang anak-anak, dan terkadang orang tua.
Yang lemah selalu disalahkan. Dan aku hanya orang lemah.
Aku sering memikirkannya.
Aku harus selalu mendengarkankan ucapan bahwa kelahiranku adalah sebuah dosa karena suatu kesalahan.
Apakah aku harus hidup dengan selalu mendengar kata-kata yang tidak manusiawi?
‘Di dunia itu penuh dengan orang-orang yang memegang pedang, menggunakan sihir, membunuh orang, dan memperjualbelikan orang…’
Semua orang itu akan menghilang menjadi bubuk bersama dengan senyum Ayah.
Apa aku datang untuk melihat dunia itu?
Kemarahan Nenek yang seperti gunung berapi aktif pun sekarang terasa seperti tidak ada apa-apanya.
Aku tersenyum menyeringai tanpa sadar. Raut muka Nenek menjadi sangat aneh.
“Sekarang kau tersenyum?”
“Kalau begitu…”
Angin lebih banyak bercampur daripada suara, mungkin karena mulut kami terkunci.
Aku mengangkat tangan dan menyentuh leher beberapa kali sebelum akhirnya membuka mulut.
Apa aku sudah gila?
Sepertinya aku sedikit gila karena aku hampir dijual, hampir mati, aku juga seekor naga, dan menjadi kepala keluarga di usia muda setelah tertidur selama 5 tahun.
“Apa saya terlihat seperti sedang tersenyum?”
“…Apa? Apa yang kau katakan?!”
“Saya tanya, apakah saya terlihat seperti sedang tersenyum?”
“Apa anak ini sudah gila…?!”
Mata Nenek membelalak saat aku membuka mata lebar-lebar dan berbicara tanpa gemetaran.
Aku pantas melakukannya.
Dalam ingatan Nenek, aku adalah pembuat onar yang tolol dan bodoh, yang bahkan tidak bisa mengatakan sepatah kata pun, serta gemetaran dan gelagapan jika dibentak.
“Cha Miso, apa yang kau katakan pada Nenek…?!”
“Kau menghancurkan pendidikan anak ini! Perempuan j*l*ng ini gila karena hidup kembali dari kematian…!”
“‘Perempuan j*l*ng’, ‘perempuan j*l*ng’. Jangan memanggilku seperti itu, Nek. Kita sama-sama perempuan, kenapa kau seperti itu? Tidak sopan.”
Nenek yang selalu menekankan keanggunan dan kemuliaan membuka mulutnya karena ucapanku.
Tampaknya ia tidak pernah mengira bahwa aku akan menyanggah seperti ini. Aku melihat ke luar jendela sejenak.
Aku tak tahu sudah berapa lama waktu berlalu…
‘Harusnya aku mati saja waktu itu.’
Dengan begitu, mungkin aku bisa menutup mataku diam-diam.
Jadi aku tidak perlu melihat situasi seperti ini dan terus menjadi Ayrin.
‘Tapi, bagaimana jika ini benar-benar mimpi dan aku mati selamanya?’
Aku benci jika tidak bisa kembali selamanya. Aku ingin tinggal selamanya di dunia itu.
“Dokter! Panggil psikiater! Perempuan j*l*ng ini sudah sangat gila. Dia kerasukan setan!”
“Nenek, saya baik-baik saja. Saya tidak pernah berpikiran sejernih ini sejak lahir.”
“Cha Miso, cepat minta maaf pada Nenek!”
Ibu menjadi pucat pasi lalu berlari ke arahku dan menghardikku.
“Hei, beraninya kau begitu pada Nenek begitu sadar…”
“Hei, Cha Yido.”
Aku menatap adik pertama. Tiba-tiba Ayah terlintas di benakku. Semakin ia marah, senyumnya akan semakin cerah.
Jadi, aku juga menyunggingkan senyum.
“Diam.”
“…Apa katamu?”
Aku menggerakkan tangan dengan hati-hati. Tanganku lemas. Ketika aku menurunkan kaki ke bawah tempat tidur, kakiku pun tidak bertenaga.
Meskipun begitu, aku berdiri dengan mudah. Aku bangkit berdiri dengan hati-hati.
Darah menyembur ketika aku mencabut infus dengan sekuat tenaga. Aku menekan-nekan area di mana jarum ditusukkan melalui lengan baju.
‘Aku harus keluar dari rumah sakit ini dulu.’
Entah ini mimpi atau bukan, kurasa aku akan baik-baik saja saat membuka mata lagi, selama bukan di rumah sakit.
“Cha Miso, kau mau ke mana?!”
Ibu mengadangku yang berjalan tergopoh-gopoh.
Tatapannya yang tajam dan bibirnya yang tertutup rapat mengerikan, tapi…
Aku merasa ini bukan masalah besar, mungkin karena aku banyak melihat orang-orang yang lebih besar.
‘Apa yang sebenarnya ditakuti orang-orang ini?’
Aku tidak bisa beradaptasi dengan medan penglihatan yang tinggi. Sudah lama aku tidak melihat dari atas.
Aku ingin dicintai olehnya sesekali.
Ketika menerima cinta sejati, aku sadar bahwa aku tidak pernah dicintai sekali pun.
“Ibu.”
Aku membuka mulut semesra mungkin dengan wajah tersenyum. Ibu menatapku dengan raut muka penuh kejanggalan.
Krieeet~
Pintu kamar rawat terbuka.
Tampak wajah seram dan familier dari belakang ibu. Bahkan aku tak berhenti bicara saat bertatapan dengannya.
“Tak peduli aku keluar atau tertabrak mobil, jangan selamatkan aku lain kali.”
“Apa yang kau bicarakan…?”
Ibu membuka mulutnya dengan muka sangat terkejut.
Yah, sepertinya dia lebih terluka daripada terkejut. Hal yang lucu. Aku lebih banyak terluka daripada dia.
“…Kau membuat keributan setelah sadar.”
Ayah yang berdiri di luar pintu masuk ke dalam kamar rawat dan berkata.
Aku mengabaikan Ayah dan hendak pergi.
Namun, Nenek tampak tidak senang aku mengabaikan putranya.
“Beraninya kau pergi saat orang tua berbicara…!”
Nenek menarik pergelangan tanganku. Aku mengerutkan wajah seketika.
‘Aku kangen Ayah.’
Saat aku berpikir keras karena luapan kekesalan.
Kamar rawat tiba-tiba bersinar terang seperti disinari matahari yang terik, dan seseorang berdiri di sana.
“Apa ini tiba-tiba…”
“…Ayah?”
Ayah.
Lagi-lagi imajinasiku terwujud. Itu pun dalam kenyataan.
Tulang punggungku merinding ketika menyadarinya.
<Bersambung>